PROGRAM AHAD DHUHA PEDULI

PROGRAM AHAD DHUHA PEDULI adalah Sebuah program kepedulian dalam pengembangan wirausaha dan kemandirian dari jama’ah untuk jama’ah ,

BERJAMAAH KITA HEBAT

“Bukan karena hebat kita berjamaah, tapi karena berjamaah kita menjadi HEBAT” Karena yang sedikit (sendirian) tidak berdampak, tapi bila dihimpun (berjama’ah) maka akan menjadi kekuatan besar.

MENGHIDUPKAN SUNNAH DENGAN BERNIAGA

Rasulullah SAW bersabda : Dari Abu Sa'id ra, dari Nabi Muhammad SAW bersabda, Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, maka ia akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada. (HR. Turmudzi)

MENGHIMPUN DONATUR

Setiap kita bisa menjadi donatur, bukan besaran infaqnya yang terpenting, tapi banyaknya orang yang menjadi donatur menjadikan yang sedikit menjadi berlimpah. Faktor kali, bukan faktor besaran. Rp. 5000 per orang dikali 10.000 orang, maka nilainya menjadi besar.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

AHAD DHUHA PEDULI

Photobucket

Rabu, 24 Februari 2010

IMAN KEPADA NABI DAN RASUL

DEFINISI NABI
Nabi menurut tata bahasa Arab berasal dari kata نَبَّـأ dan أَنْبَأ dengan hamzah, yang berarti أَخْبَر mengabarkan. Nabi disebut nabi karena dia mengabarkan dari Allah atau karena dia diberi kabar oleh Allah, bisa jadi nabi dari kata نبَا tanpa hamzah yang berarti tinggi, nabi disebut nabi karena derajat dan kedudukannya tinggi. Nabi secara istilah adalah seorang laki-laki merdeka di mana Allah mengabarkan syariat sebelumya kepadanya agar dia menyampaikan kepada orang-orang yang di sekitarnya dari kalangan pemilik syariat tersebut.

DEFINISI RASUL
Rasul secara bahasa adalah orang yang mengikuti berita orang yang mengutusnya. Orang-orang Arab berkata, جَأَءَتِ الإبِلُ رَسَلاً yang berarti unta itu datang silih berganti. Rasul bisa digunakan untuk risalah, bisa pula untuk orang yang diutus. Rasul secara istilah adalah laki-laki merdeka yang diutus oleh Allah dengan syariat dan Dia memerintahkannya untuk menyampaikannya kepada orang yang tidak mengetahui atau menyelisihinya dari kalangan orang-orang di mana dia diutus kepada mereka. Antara Nabi dan Rasul. kenabian lebih umum karena semua Rasul adalah Nabi tetapi tidak semua Nabi adalah Rasul. Jadi, orang yang bukan Nabi pasti bukan Rasul atau dengan kata lain, untuk menjadi Rasul dia harus menjadi Nabi terlebih dahulu.

Rasul membawa risalah kepada orang yang tidak mengetahui agama dan syariat Allah, atau kepada orang-orang yang merubah syariat dan agama untuk mengajar mereka dan mengembalikan mereka kepadanya. Sedangkan Nabi SAW diutus dengan dakwah syariat sebelumnya. Kenabian adalah pemberian Allah. Kenabian bukan derajat puncak yang bisa diraih dengan cara-cara dan latihan-latihan tertentu, manusia tidak mungkin mendapatkannya dengan usaha mereka karena ia bukan gelar yang mungkin diraih dengan jerih payah. Kenabian adalah derajat tinggi dan kedudukan mulia yang Allah berikan kepada orang yang dikehendaki-Nya.

Orang yang Allah berkehendak memilihnya sebagai Nabi telah disiapkan oleh Allah sedemikian rupa untuk memikul kenabian tersebut. Allah menjaganya dari setan dan melindunginya dari syirik serta menganugerahkan perilaku terpuji kepadanya. Dalil yang menetapkan bahwa kenabian adalah murni anugerah Allah adalah firman Allah; “Mereka itu adalah orang-orang yang telah diberi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi dari keturunan Adam, dan dari orang-orang yang kami angkat bersama Nuh, dan dari keturunan Ibrahim dan Israil, dan dari orang-orang yang telah Kami beri petunjuk dan telah Kami pilih.” (QS. Maryam: 58).

Firman-Nya kepada Musa;
“Hai Musa, sesungguhnya Aku memilih (melebihkan) kamu dan manusia yang lain (di masamu) untuk membawa risalahKu dan untuk berbicara langsung denganKu.” (QS. Al-A’raf: 144).

Firman-Nya tentang ucapan Ya’qub kepada Yusuf;
“Dan demikianlah Tuhanmu, memilih kamu (untuk menjadi Nabi).” (QS. Yusuf: 6).

Manakala Allah mengutus Nabi Muhammad, orang-orang Jahiliyah melihatnya tidak layak menyandang anugerah kenabian, ada yang - menurut mereka - lebih layak darinya yaitu seorang laki-laki besar di Makkah atau Thaif, al-Walid bin al-Mughirah atau Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqafi, maka Allah mengingkari pandangan keliru mereka. Allah menjelaskan bahwa diri-Nya adalah Rabb yang bertindak mutlak, maka tidak seorang pun berhak cawe-cawe (campur tangan) dalam apa yang dikehendkai Allah termasuk memberikan derajat kenabian kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Firman Allah; “Dan mereka berkata, ‘Mengapa al-Qur`an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan Thaif) ini.’ Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Az-Zukhruf: 31-32).

Firman Allah, “Apabila datang sesuatu ayat kepada mereka, mereka berkata, ‘Kami tidak akan beriman sehingga diberikan kepada kami yang serupa dengan apa yang telah diberikan kepada utusan-utusan Allah.’ Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (QS. Al-An’am: 124).

Ayat-ayat ini mengandung petunjuk yang jelas bahwa kenabian tidak diperoleh dengan cara atau sarana tertentu. Ia murni nikmat Allah yang dengan hikmah dan ilmu-Nya diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya. Ia bukan untuk orang yang mengharapkan apalagi mengklaimnya.

SIFAT NABI DAN RASUL
Nabi dan Rasul memikul tugas berat dan besar: menerima wahyu, melaksanakan dan menyampaikannya kepada umat, membimbing, dan memimpin umat. Karena itu Allah memilih untuk tugas besar ini figur yang berasal dari nasab terbaik, akal sempurna, dan jiwa yang bersih di samping Dia membekalinya dengan akhlak-akhlak dan sifat-sifat yang luhur, maka seorang Nabi dan Rasul adalah teladan akhlak dan sifat bagi umatnya.

  • Shidiq
Shidiq berarti jujur lawan kata dari kadzib (dusta). Bagi Nabi dan Rasul ini adalah sifat dasar dan pangkal. Jika tidak demikian maka yang bersangkutan mungkin berdusta atas nama Allah dan membohongi umatnya. Oleh karena itu Allah mengabarkan tentang rasul-rasul-Nya bahwa mereka adalah para shiddiqun.

Firman Allah; “Mereka berkata, ‘Aduhai celakalah kami! Siapakah yang membangkitkan kami dari tempat-tidur kami (kubur)?’ Inilah yang dijanjikan (Tuhan) yang Maha Pemurah dan benarlah rasul-rasul(Nya).” (QS. Yasin: 52).

Firman Allah tentang Ibrahim, “Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (al-Qur`an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat membenarkan lagi seorang nabi.” (QS. Maryam: 41).

Firman Allah tentang Muhammad, “Dan orang yang membawa kebenaran (Muhammad) dan membenarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Az-Zumar: 33).

  • Sabar
Allah mengutus para Rasul dan Nabii dengan membawa berita gembira dan menyampaikan peringatan. Mereka mengajak umat beribadah kepada Allah, memperingatkan mereka dari akibat buruk menafikan perintah Allah. Di jalan ini para Rasul mendapatkan tantangan dan permusuhan keras, hinaan, cacian, makian, pukulan, teror, intimidasi, pengucilan bahkan usaha makar sampai pembunuhan mereka dapatkan. Jika para Rasul tidak memiliki kesabaran tertinggi niscaya mereka tidak mampu mengemban amanat risalah Allah yang ada di pundak mereka dengan segala resiko dan tantangan berat yang menghadang.

Kepada Muhammad SAW Allah memerintahkan bersabar seperti kesabaran para Rasul Ulil Azmi. FirmanNya; “Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari rasul-rasul telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka. Pada hari mereka melihat azab yang diancamkan kepada mereka (merasa) seolah-olah tidak tinggal (di dunia) melainkan sesaat pada siang hari. (Inilah) suatu pelajaran yang cukup, maka tidak dibinasakan melainkan kaum yang fasik.” (QS. Al-Ahqaf: 35).

IMAN KEPADA SEMUA NABI DAN RASUL
Wajib meyakini bahwa Allah mengutus seorang Rasul pada masing-masing umat yang menyeru mereka kepada tauhid dan kufur terhadap apa yang disembah selain Allah. Beriman kepada seluruh Rasul dan Nabi adalah wajib, tanpa membedakan. Artinya kita tidak boleh beriman kepada sebagian dan kufur kepada sebagian yang lain. Sebab hal yang emikian itu sama artinya dengan tidak beriman kepada semuanya. Firman Allah; “Rasul telah beriman kepada al-Qur`an yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rasul-rasulNya. (Mereka mengatakan), ‘Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul-rasulNya,’ dan mereka mengatakan, ‘Kami dengar dan kami taat.’ (Mereka berdoa), ‘Ampunilah kami ya Tuhan kami dan kepada Engkaulah tempat kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285).

Firman Allah; “Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasulNya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasulNya, dengan mengatakan, ‘Kami beriman kepada yang sebagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain),’ serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan. Orang-orang yang beriman kepada Allah dan para rasulNya dan tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka, kelak Allah akan memberikan kepada mereka pahalanya. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa`: 150-152).

Ini mernyiratkan bahwa kita wajib beriman kepada para nabi dan Rasul baik yang kita ketahui namanya maupun yang tidak. Adapun yang sudah kita ketahui namanya, maka kita beriman kepada mereka secara khusus, seperti kerpada: Nuh, Shalih, Ibrahim, Musa, Isa, Muhammad dan lain-lain. Dengan tetap meyakini sepenuhnya bahwa Allah juga memiliki Nabi-Nabi dan Rasul-Rasul selain mereka. Firman-Nya, “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak dapat bagi seorang Rasul membawa suatu mukjizat, melainkan dengan seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, diputuskan (semua perkara) dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.” (QS. Al-Ghafir: 78).

Dari Blog Indra Muslim


Selasa, 23 Februari 2010

RANDOM AYAT-AYAT AL QUR'AN






















Untuk mendapatkan WIDGET RANDOM AYAT ini tampil juga di situs anda, silahkan singgah, baca petunjuk, dan unduh di sini.

Rabu, 10 Februari 2010

AL HADITS

Dari WIKIPEDIA Bahasa Indonesia - Ensiklopedi Bebas

Hadits
(bahasa Arab: الحديث, ejaan KBBI: Hadis) adalah perkataan dan perbuatan dari Nabi Muhammad. Hadits sebagai sumber hukum dalam agama Islam memiliki kedudukan kedua pada tingkatan sumber hukum di bawah Al-Qur'an.

ETIMOLOGI

Hadits secara harfiah berarti perkataan atau percakapan. Dalam terminologi Islam istilah hadits berarti melaporkan/ mencatat sebuah pernyataan dan tingkah laku dari Nabi Muhammad. Namun pada saat ini kata hadits mengalami perluasan makna, sehingga disinonimkan dengan sunnah, maka bisa berarti segala perkataan (sabda), perbuatan, ketetapan maupun persetujuan dari Nabi Muhammad SAW yang dijadikan ketetapan ataupun hukum.[1] Kata hadits itu sendiri adalah bukan kata infinitif,[2] maka kata tersebut adalah kata benda.[3]

STRUKTUR HADITS

Secara struktur hadits terdiri atas dua komponen utama yakni sanad/isnad (rantai penutur) dan matan (redaksi).
Contoh:Musaddad mengabari bahwa Yahyaa sebagaimana diberitakan oleh Syu'bah, dari Qatadah dari Anas dari Rasulullah SAW bahwa beliau bersabda: "Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri" (Hadits riwayat Bukhari)
SANAD

Sanad ialah rantai penutur/perawi (periwayat) hadits. Sanad terdiri atas seluruh penutur mulai dari orang yang mencatat hadits tersebut dalam bukunya (kitab hadits) hingga mencapai Rasulullah. Sanad, memberikan gambaran keaslian suatu riwayat. Jika diambil dari contoh sebelumnya maka sanad hadits bersangkutan adalah
Al-Bukhari > Musaddad > Yahya > Syu’bah > Qatadah > Anas > Nabi Muhammad SAW
Sebuah hadits dapat memiliki beberapa sanad dengan jumlah penutur/perawi bervariasi dalam lapisan sanadnya, lapisan dalam sanad disebut dengan thaqabah. Signifikansi jumlah sanad dan penutur dalam tiap thaqabah sanad akan menentukan derajat hadits tersebut, hal ini dijelaskan lebih jauh pada klasifikasi hadits. Jadi, yang perlu dicermati dalam memahami Al Hadits terkait dengan sanadnya ialah:
  • Keutuhan sanadnya
  • Jumlahnya
  • Perawi akhirnya
Sebenarnya, penggunaan sanad sudah dikenal sejak sebelum datangnya Islam.Hal ini diterapkan di dalam mengutip berbagai buku dan ilmu pengetahuan lainnya. Akan tetapi mayoritas penerapan sanad digunakan dalam mengutip hadits-hadits nabawi.

MATAN

Matan ialah redaksi dari hadits. Dari contoh sebelumnya maka matan hadits bersangkutan ialah:
"Tidak sempurna iman seseorang di antara kalian sehingga ia cinta untuk saudaranya apa yang ia cinta untuk dirinya sendiri"
Terkait dengan matan atau redaksi, maka yang perlu dicermati dalam mamahami hadist ialah:
  • Ujung sanad sebagai sumber redaksi, apakah berujung pada Nabi Muhammad atau bukan,
  • Matan hadist itu sendiri dalam hubungannya dengan hadist lain yang lebih kuat sanadnya (apakah ada yang melemahkan atau menguatkan) dan selanjutnya dengan ayat dalam Al Quran (apakah ada yang bertolak belakang).
KLASIFIKASI HADITS

Hadits dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria yakni bermulanya ujung sanad, keutuhan rantai sanad, jumlah penutur (periwayat) serta tingkat keaslian hadits (dapat diterima atau tidaknya hadits bersangkutan)

BERDASARKAN UJUNG SANAD

Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi menjadi 3 golongan yakni marfu' (terangkat), mauquf (terhenti) dan maqtu' :
  • Hadits Marfu' adalah hadits yang sanadnya berujung langsung pada Nabi Muhammad SAW (contoh:hadits sebelumnya)
  • Hadits Mauquf adalah hadits yang sanadnya terhenti pada para sahabat nabi tanpa ada tanda-tanda baik secara perkataan maupun perbuatan yang menunjukkan derajat marfu'. Contoh: Al Bukhari dalam kitab Al-Fara'id (hukum waris) menyampaikan bahwa Abu Bakar, Ibnu Abbas dan Ibnu Al-Zubair mengatakan: "Kakek adalah (diperlakukan seperti) ayah". Namun jika ekspresi yang digunakan sahabat seperti "Kami diperintahkan..", "Kami dilarang untuk...", "Kami terbiasa... jika sedang bersama rasulullah" maka derajat hadits tersebut tidak lagi mauquf melainkan setara dengan marfu'.
  • Hadits Maqtu' adalah hadits yang sanadnya berujung pada para Tabi'in (penerus). Contoh hadits ini adalah: Imam Muslim meriwayatkan dalam pembukaan sahihnya bahwa Ibnu Sirin mengatakan: "Pengetahuan ini (hadits) adalah agama, maka berhati-hatilah kamu darimana kamu mengambil agamamu".
Keaslian hadits yang terbagi atas golongan ini sangat bergantung pada beberapa faktor lain seperti keadaan rantai sanad maupun penuturnya. Namun klasifikasi ini tetap sangat penting mengingat klasifikasi ini membedakan ucapan dan tindakan Rasulullah SAW dari ucapan para sahabat maupun tabi'in dimana hal ini sangat membantu dalam area perdebatan dalam fikih ( Suhaib Hasan, Science of Hadits).

BERDASARKAN KEUTUHAN RANTAI (LAPISAN SANAD)

Berdasarkan klasifikasi ini hadits terbagi menjadi beberapa golongan yakni Musnad, Munqati', Mu'allaq, Mu'dal dan Mursal. Keutuhan rantai sanad maksudnya ialah setiap penutur pada tiap tingkatan dimungkinkan secara waktu dan kondisi untuk mendengar dari penutur diatasnya.
Ilustrasi sanad : Pencatat Hadits > penutur 4> penutur 3 > penutur 2 (tabi'in) > penutur 1 (Para sahabat) > Rasulullah SAW
  • Hadits Musnad, sebuah hadits tergolong musnad apabila urutan sanad yang dimiliki hadits tersebut tidak terpotong pada bagian tertentu. Yakni urutan penutur memungkinkan terjadinya transfer hadits berdasarkan waktu dan kondisi.
  • Hadits Mursal. Bila penutur 1 tidak dijumpai atau dengan kata lain seorang tabi'in menisbatkan langsung kepada Rasulullah SAW (contoh: seorang tabi'in (penutur2) mengatakan "Rasulullah berkata" tanpa ia menjelaskan adanya sahabat yang menuturkan kepadanya).
  • Hadits Munqati' . Bila sanad putus pada salah satu penutur yakni penutur 4 atau 3
  • Hadits Mu'dal bila sanad terputus pada dua generasi penutur berturut-turut.
  • Hadits Mu'allaq bila sanad terputus pada penutur 4 hingga penutur 1 (Contoh: "Seorang pencatat hadits mengatakan, telah sampai kepadaku bahwa Rasulullah mengatakan...." tanpa ia menjelaskan sanad antara dirinya hingga Rasulullah).
BERDASARKAN JUMLAH PENUTUR

Jumlah penutur yang dimaksud adalah jumlah penutur dalam tiap tingkatan dari sanad, atau ketersediaan beberapa jalur berbeda yang menjadi sanad hadits tersebut. Berdasarkan klasifikasi ini hadits dibagi atas hadits Mutawatir dan hadits Ahad.
  • Hadits mutawatir, adalah hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang dari beberapa sanad dan tidak terdapat kemungkinan bahwa mereka semua sepakat untuk berdusta bersama akan hal itu. Jadi hadits mutawatir memiliki beberapa sanad dan jumlah penutur pada tiap lapisan (thaqabah) berimbang. Para ulama berbeda pendapat mengenai jumlah sanad minimum hadits mutawatir (sebagian menetapkan 20 dan 40 orang pada tiap lapisan sanad). Hadits mutawatir sendiri dapat dibedakan antara dua jenis yakni mutawatir lafzhy (redaksional sama pada tiap riwayat) dan ma'nawy (pada redaksional terdapat perbedaan namun makna sama pada tiap riwayat)
  • Hadits ahad, hadits yang diriwayatkan oleh sekelompok orang namun tidak mencapai tingkatan mutawatir. Hadits ahad kemudian dibedakan atas tiga jenis antara lain :
    • Gharib, bila hanya terdapat satu jalur sanad (pada salah satu lapisan terdapat hanya satu penutur, meski pada lapisan lain terdapat banyak penutur)
    • Aziz, bila terdapat dua jalur sanad (dua penutur pada salah satu lapisan)
    • Mashur, bila terdapat lebih dari dua jalur sanad (tiga atau lebih penutur pada salah satu lapisan) namun tidak mencapai derajat mutawatir.
BERDASARKAN TINGKAT KEASLIAN HADITS

Kategorisasi tingkat keaslian hadits adalah klasifikasi yang paling penting dan merupakan kesimpulan terhadap tingkat penerimaan atau penolakan terhadap hadits tersebut. Tingkatan hadits pada klasifikasi ini terbagi menjadi 4 tingkat yakni shahih, hasan, da'if dan maudu'
  • Hadits Shahih, yakni tingkatan tertinggi penerimaan pada suatu hadits. Hadits shahih memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    1. Sanadnya bersambung;
    2. Diriwayatkan oleh penutur/perawi yg adil, memiliki sifat istiqomah, berakhlak baik, tidak fasik, terjaga muruah(kehormatan)-nya, dan kuat ingatannya.
    3. Matannya tidak mengandung kejanggalan/bertentangan (syadz) serta tidak ada sebab tersembunyi atau tidak nyata yg mencacatkan hadits .
  • Hadits Hasan, bila hadits yg tersebut sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh rawi yg adil namun tidak sempurna ingatannya, serta matannya tidak syadz serta cacat.
  • Hadits Dhaif (lemah), ialah hadits yang sanadnya tidak bersambung (dapat berupa mursal, mu’allaq, mudallas, munqati’ atau mu’dal)dan diriwayatkan oleh orang yang tidak adil atau tidak kuat ingatannya, mengandung kejanggalan atau cacat.
  • Hadits Maudu', bila hadits dicurigai palsu atau buatan karena dalam sanadnya dijumpai penutur yang memiliki kemungkinan berdusta.
JENIS-JENIS LAIN

Adapun beberapa jenis hadits lainnya yang tidak disebutkan dari klasifikasi di atas antara lain:
  • Hadits Matruk, yang berarti hadits yang ditinggalkan yaitu Hadits yang hanya dirwayatkan oleh seorang perawi saja dan perawi itu dituduh berdusta.
  • Hadits Mungkar, yaitu hadits yang hanya diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya/jujur.
  • Hadits Mu'allal, artinya hadits yang dinilai sakit atau cacat yaitu hadits yang didalamnya terdapat cacat yang tersembunyi. Menurut Ibnu Hajar Al Atsqalani bahwa hadis Mu'allal ialah hadits yang nampaknya baik tetapi setelah diselidiki ternyata ada cacatnya. Hadits ini biasa juga disebut Hadits Ma'lul (yang dicacati) dan disebut Hadits Mu'tal (Hadits sakit atau cacat)
  • Hadits Mudlthorib, artinya hadits yang kacau yaitu hadits yang diriwayatkan oleh seorang perawi dari beberapa sanad dengan matan (isi) kacau atau tidaksama dan kontradiksi dengan yang dikompromikan
  • Hadits Maqlub, yakni hadits yang terbalik yaitu hadits yang diriwayatkan ileh perawi yang dalamnya tertukar dengan mendahulukan yang belakang atau sebaliknya baik berupa sanad (silsilah) maupun matan (isi)
  • Hadits gholia, yaitu hadits yang terbalik sebagian lafalnya hingga pengertiannya berubah
  • Hadits Mudraj, yaitu hadits yang mengalami penambahan isi oleh perawinya
  • Hadits Syadz, Hadits yang jarang yaitu hadits yang diriwayatkan oleh perawi orang yang terpercaya yang bertentangan dengan hadits lain yang diriwayatkan dari perawi-perawi yang lain.
  • Hadits Mudallas, disebut juga hadits yang disembunyikan cacatnya. Yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh melalui sanad yang memberikan kesan seolah-olah tidak ada cacatnya, padahal sebenarnya ada, baik dalam sanad atau pada gurunya. Jadi Hadits Mudallas ini ialah hadits yang ditutup-tutupi kelemahan sanadnya
PERIWAYAT HADITS

PERIWAYAT HADITS YANG DITERIMA OLEH UMAT MUSLIM

  1. Shahih Bukhari, disusun oleh Bukhari (194-256 H)
  2. Shahih Muslim, disusun oleh Muslim (204-262 H)
  3. Sunan Abu Daud, disusun oleh Abu Dawud (202-275 H)
  4. Sunan at-Turmudzi, disusun oleh At-Turmudzi (209-279 H)
  5. Sunan an-Nasa'i, disusun oleh an-Nasa'i (215-303 H)
  6. Sunan Ibnu Majah, disusun oleh Ibnu Majah (209-273).
  7. Imam Ahmad bin Hambal
  8. Imam Malik
  9. Ad-Darimi
PERIWAYAT HADITS YANG DITERIMA OLEH SYI'AH

Muslim Syi'ah hanya mempercayai hadits yang diriwayatkan oleh keturunan Muhammad saw, melalui Fatimah az-Zahra, atau oleh pemeluk Islam awal yang memihak Ali bin Abi Thalib. Syi'ah tidak menggunakan hadits yang berasal atau diriwayatkan oleh mereka yang menurut kaum Syi'ah diklaim memusuhi Ali, seperti Aisyah, istri Muhammad saw, yang melawan Ali pada Perang Jamal.
Ada beberapa sekte dalam Syi'ah, tetapi sebagian besar menggunakan:
  • Ushul al-Kafi
  • Al-Istibshar
  • Al-Tahdzib
  • Man La Yahduruhu al-Faqih
PEMBENTUKAN DAN SEJARAHNYA
Hadits sebagai kitab berisi berita tentang sabda, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad sebagai Rasul. Berita tersebut didapat dari para sahabat pada saat bergaul dengan Nabi. Berita itu selanjutnya disampaikan kepada sahabat lain yang tidak mengetahui berita itu, atau disampaikan kepada murid-muridnya dan diteruskan kepada murid-murid berikutnya lagi hingga sampai kepada pembuku Hadits. Itulah pembentukan Hadits.

MASA PEMBENTUKAN AL HADITS

Masa pembentukan Hadits tiada lain masa kerasulan Nabi Muhammad itu sendiri, ialah lebih kurang 23 tahun. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis, dan hanya berada dalam benak atau hafalan para sahabat saja.

MASA PENGGALIAN

Masa ini adalah masa pada sahabat besar dan tabi'in, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad pada tahun 11 H atau 632 M. Pada masa ini Al Hadits belum ditulis ataupun dibukukan. Seiring dengan perkembangan dakwah, mulailah bermunculan persoalan baru umat Islam yang mendorong para sahabat saling bertukar Al Hadits dan menggali dari sumber-sumber utamanya.

MASA PENGHIMPUNAN

Masa ini ditandai dengan sikap para sahabat dan tabi'in yang mulai menolak menerima Al Hadits baru, seiring terjadinya tragedi perebutan kedudukan kekhalifahan yang bergeser ke bidang syari'at dan 'aqidah dengan munculnya Al Hadits palsu. Para sahabat dan tabi'in ini sangat mengenal betul pihak-pihak yang melibatkan diri dan yang terlibat dalam permusuhan tersebut, sehingga jika ada Al Hadits baru yang belum pernah dimiliki sebelumnya diteliti secermat-cermatnya siapa-siapa yang menjadi sumber dan pembawa Al Hadits itu. Maka pada masa pemerintahan Khalifah 'Umar bin 'Abdul 'Aziz sekaligus sebagai salah seorang tabi'in memerintahkan penghimpunan Al Hadits. Masa ini terjadi pada abad 2 H, dan Al Hadits yang terhimpun belum dipisahkan mana yang merupakan Al Hadits marfu' dan mana yang mauquf dan mana yang maqthu'.

MASA PEMBUKUAN DAN PENYUSUNAN

Abad 3 H merupakan masa pendiwanan (pembukuan) dan penyusunan Al Hadits. Guna menghindari salah pengertian bagi umat Islam dalam memahami Hadits sebagai prilaku Nabi Muhammad, maka para ulama mulai mengelompokkan Hadits dan memisahkan kumpulan Hadits yang termasuk marfu' (yang berisi perilaku Nabi Muhammad), mana yang mauquf (berisi prilaku sahabat) dan mana yang maqthu' (berisi prilaku tabi'in). Usaha pembukuan Al Hadits pada masa ini selain telah dikelompokkan (sebagaimana dimaksud diatas) juga dilakukan penelitian Sanad dan Rawi-rawi pembawa beritanya sebagai wujud tash-hih (koreksi/verifikasi) atas Al Hadits yang ada maupun yang dihafal. Selanjutnya pada abad 4 H, usaha pembukuan Hadits terus dilanjutkan hingga dinyatakannya bahwa pada masa ini telah selesai melakukan pembinaan maghligai Al Hadits. Sedangkan abad 5 hijriyah dan seterusnya adalah masa memperbaiki susunan kitab Al Hadits seperti menghimpun yang terserakan atau menghimpun untuk memudahkan mempelajarinya dengan sumber utamanya kitab-kitab Al Hadits abad 4 H.

KITAB-KITAB HADITS

ABAD KE-2 HIJRIAH

Beberapa kitab yang terkenal :
  1. Al Muwaththa oleh Malik bin Anas
  2. Al Musnad oleh As Syafi'i (tahun 150 - 204 H / 767 - 820 M)
  3. Mukhtaliful Hadist oleh As Syafi'i
  4. Al Jami' oleh Abdurrazzaq Ash Shan'ani
  5. Mushannaf Syu'bah oleh Syu'bah bin Hajjaj (tahun 82 - 160 H / 701 - 776 M)
  6. Mushannaf Sufyan oleh Sufyan bin Uyainah (tahun 107 - 190 H / 725 - 814 M)
  7. Mushannaf Al Laist oleh Al Laist bin Sa'ad (tahun 94 - 175 / 713 - 792 M)
  8. As Sunan Al Auza'i oleh Al Auza'i (tahun 88 - 157 / 707 - 773 M)
  9. As Sunan Al Humaidi (wafat tahun 219 H / 834 M)
Dari kesembilan kitab tersebut yang sangat mendapat perhatian para 'lama hanya tiga, yaitu Al Muwaththa', Al Musnad dan Mukhtaliful Hadist. Sedangkan selebihnya kurang mendapat perhatian akhirnya hilang ditelan zaman.
ABAD KE-3 HIJRIAH

  • Musnadul Kabir oleh Ahmad bin Hambal dan 3 macam lainnya yaitu Kitab Shahih, Kitab Sunan dan Kitab Musnad yang selengkapnya :
  1. Al Jami'ush Shahih Bukhari oleh Bukhari (194-256 H / 810-870 M)
  2. Al Jami'ush Shahih Muslim oleh Muslim (204-261 H / 820-875 M)
  3. As Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah (207-273 H / 824-887 M)
  4. As Sunan Abu Dawud oleh Abu Dawud (202-275 H / 817-889 M)
  5. As Sunan At Tirmidzi oleh At Tirmidzi (209-279 H / 825-892 M)
  6. As Sunan Nasai oleh An Nasai (225-303 H / 839-915 M)
  7. As Sunan Darimi oleh Darimi (181-255 H / 797-869 M)
Imam Malik imam Ahmad

ABAD KE-4 HIJRIAH

  1. Al Mu'jamul Kabir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  2. Al Mu'jamul Ausath oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  3. Al Mu'jamush Shaghir oleh Ath Thabarani (260-340 H / 873-952 M)
  4. Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M)
  5. Ash Shahih oleh Ibnu Khuzaimah (233-311 H / 838-924 M)
  6. At Taqasim wal Anwa' oleh Abu Awwanah (wafat 316 H / 928 M)
  7. As Shahih oleh Abu Hatim bin Hibban (wafat 354 H/ 965 M)
  8. Al Muntaqa oleh Ibnu Sakan (wafat 353 H / 964 M)
  9. As Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  10. Al Mushannaf oleh Ath Thahawi (239-321 H / 853-933 M)
  11. Al Musnad oleh Ibnu Nashar Ar Razi (wafat 301 H / 913 M)
ABAD KE-5 HIJRIAH DAN SETELAHNYA

  • Hasil penghimpunan
  • Bersumber dari kutubus sittah saja
  1. Jami'ul Ushul oleh Ibnu Atsir Al Jazari (556-630 H / 1160-1233 M)
  2. Tashiful Wushul oleh Al Fairuz Zabadi (? - ? H / ? - 1084 M)
  • Bersumber dari kkutubus sittah dan kitab lainnya, yaitu Jami'ul Masanid oleh Ibnu Katsir (706-774 H / 1302-1373 M)
  • Bersumber dari selain kutubus sittah, yaitu Jami'ush Shaghir oleh As Sayuthi (849-911 H / 1445-1505 M)
  • Hasil pembidangan (mengelompokkan ke dalam bidang-bidang)
  • Kitab Al Hadits Hukum, diantaranya :
  1. Sunan oleh Ad Daruquthni (306-385 H / 919-995 M)
  2. As Sunannul Kubra oleh Al Baihaqi (384-458 H / 994-1066 M)
  3. Al Imam oleh Ibnul Daqiqil 'Id (625-702 H / 1228-1302 M)
  4. Muntaqal Akhbar oleh Majduddin Al Hirani (? - 652 H / ? - 1254 M)
  5. Bulughul Maram oleh Ibnu Hajar Al Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  6. 'Umdatul Ahkam oleh 'Abdul Ghani Al Maqdisi (541-600 H / 1146-1203 M)
  7. Al Muharrar oleh Ibnu Qadamah Al Maqdisi (675-744 H / 1276-1343 M)
  • Kitab Al Hadits Akhlaq
  1. At Targhib wat Tarhib oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  2. Riyadhus Shalihin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  • Syarah (semacam tafsir untuk Al Hadist)
  1. Untuk Shahih Bukhari terdapat Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Asqalani (773-852 H / 1371-1448 M)
  2. Untuk Shahih Muslim terdapat Minhajul Muhadditsin oleh Imam Nawawi (631-676 H / 1233-1277 M)
  3. Untuk Shahih Muslim terdapat Al Mu'allim oleh Al Maziri (wafat 536 H / 1142 M)
  4. Untuk Muntaqal Akhbar terdapat Nailul Authar oleh As Syaukani (wafat 1250 H / 1834 M)
  5. Untuk Bulughul Maram terdapat Subulussalam oleh Ash Shan'ani (wafat 1099 H / 1687 M)
  • Mukhtashar (ringkasan)
  1. Untuk Shahih Bukhari diantaranya Tajridush Shahih oleh Al Husain bin Mubarrak (546-631 H / 1152-1233 M)
  2. Untuk Shahih Muslim diantaranya Mukhtashar oleh Al Mundziri (581-656 H / 1185-1258 M)
  • Lain-lain
  1. Kitab Al Kalimuth Thayyib oleh Ibnu Taimiyah (661-728 H / 1263-1328 M) berisi hadits-hadits tentang doa.
  2. Kitab Al Mustadrak oleh Al Hakim (321-405 H / 933-1014 M) berisi Al Hadits yang dipandang shahih menurut syarat Bukhari atau Muslim dan menurut dirinya sendiri.
BEBERAPA ISTILAH DALAM ILMU HADITS

Berdasarkan siapa yang meriwayatkan, terdapat beberapa istilah yang dijumpai pada ilmu hadits antara lain:
  • Muttafaq Alaih (disepakati atasnya) yaitu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dari sumber sahabat yang sama, dikenal dengan Hadits Bukhari dan Muslim
  • As Sab'ah berarti tujuh perawi yaitu: Imam Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Turmudzi, Imam Nasa'i dan Imam Ibnu Majah
  • As Sittah maksudnya enam perawi yakni mereka yang tersebut diatas selain Ahmad bin Hambal
  • Al Khamsah maksudnya lima perawi yaitu mereka yang tersebut diatas selain Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Al Arba'ah maksudnya empat perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari dan Imam Muslim
  • Ats Tsalatsah maksudnya tiga perawi yaitu mereka yang tersebut di atas selain Ahmad, Imam Bukhari, Imam Muslim dan Ibnu Majah.

Lebih jauh tentang Hadist ini, silahkan lihat juga situs Al Islam di sini.



Selasa, 09 Februari 2010

WHY DID POPE JOHN PAUL II KISS THE KORAN?

Roman Catholic Blog.com wrote this;
Speaking of Islam, James Akin has a good article on the infamous Pope John Paull II Koran kissing incident:

A reader writes;

I had never heard you address this on your show or Blog – though I’m certain you are familiar with it and have covered it before. But what gives about the story of JPII kissing the Koran?! I’ve seen it mentioned enough times by serious Catholics to accept this must have happened. However, I don’t know the context of this event or any other details so I can only wonder what our late Holy Father might have been thinking… Your thoughts?

This question has come up over the years, and I know that I've addressed it on the show (though I don't have the faintest idea in what episodes), but I don't seem to have done so on the blog, so here goes. . . .

First, I've reprinted the famous picture of the event above so that people can see what is being talked about. Based on the picture alone, I would not be sure what is happening. The book is ornate and could be something other than the Quran. From the looks of it, it could be a book of the gospels. However, the former Chaldean patriarch--Raphael Bidawid--was present at the meeting where the event occurred, and in an interview with the press service FIDES, he said the following:
On May 14th I was received by the Pope, together with a delegation composed of the Shi'ite imam of Khadum mosque and the Sunni president of the council of administration of the Iraqi Islamic Bank. There was also a representative of the Iraqi ministry of religion. I renewed our invitation to the Pope, because his visit would be for us a grace from heaven. It would confirm the faith of Christians and prove the Pope's love for the whole of humanity in a country which is mainly Muslim.

At the end of the audience the Pope bowed to the Muslim holy book, the Qu'ran, presented to him by the delegation, and he kissed it as a sign of respect. The photo of that gesture has been shown repeatedly on Iraqi television and it demonstrates that the Pope is not only aware of the suffering of the Iraqi people, he has also great respect for Islam [SOURCE].
What, then, is one to make of the event?
It seems that there are a number of possibilities:
1) The FIDES news agency misquoted the patriarch.
2) Patriarch Bidawid was mistaken about what happened. It was not the Quran but something else.
3) John Paul II kissed the Quran but didn't know the nature of the book he was kissing.
4) John Paul II kissed the Quran and knew that this is what he was doing.
I would love to think that either option (1), (2), or (3) was the case, but I have no evidence that any of them was the case.The most likely one of the three, to my mind, would be (3), because so far as I know, John Paul II was not an Arabic speaker and may not have understood the nature of the book that he was being presented with.

People shove all kinds of books into the pope's hands at audiences, and if the pope was under the impression that the thing to do with a gift in Iraqi culture is to kiss it as a sign of respect to the one who gives the gift then he might have kissed it reflexively, not even understanding the nature of the book.

While this is possible, I think it likely that an interpreter explained the nature of the gift that was being given on this occasion. This still leaves the possibility that the pope kissed it as part of Middle Eastern politeness rather than as a gesture of respect for the book itself.

I have heard claims that in some Middle Eastern cultures that this is a typical gesture of respect for one giving a gift, but I have asked Chaldean friends of mine whether this is the case in Iraqi culture and the answer was a definite "No." "The pope put his foot on the neck of all Chaldeans with this action" was the response I was given. (Just to make things clear, putting your foot on the neck of someone is a bad thing in Iraqi culture.)

Still, the pope may have been under the mistaken impression that this was the appropriate thing to do when receiving a gift in their culture. He can't be an expert on every culture in the world, and he could get this wrong. Or maybe he didn't.

Maybe he knew it was the Quran and kissed it anyway, not as a customary gift giving response, but for some other reason.

What might that reason be?
It certainly wouldn't be that he believes in Islam or believes that Islam is on a par with Christianity. If he believed either of these two things then he (a) wouldn't be the earthly head of the Christian faith and (b) wouldn't have approved the publication of Dominus Iesus, which asserts the salvific universality of Jesus Christ and the Church.

Any attempt to represent him as thinking one of those things doesn't even get out of the gate.
So what might he have been thinking?

We're only speculating here, but two things spring to mind as what JP2 might have been thinking:
1) The Quran does contain some elements of truth (as well as grave elements of falsehood) and he might have wanted to honor the elements of truth it contains.
2) Showing respect in this way could foster world peace and interreligious harmony.
Of these two, I would conjecture that the latter would have been uppermost in John Paul II's mind, though the former may not have been absent.
John Paul II was a man who was enormously concerned with world peace and interreligious harmony. As a young man he lived through the horrors of World War II, which had a permanent effect on him and his generation and their views about war and peace.

As a mature man he lived through the Cold War that repeatedly brought the world to the brink of nuclear disaster, and this also had a permanent effect on him and his generation and their views about war and peace. The constant threat of nuclear warfare hung particularly heavily over Europe--which would have been the chief battleground in a conflict between the Soviet Union and the West--and (particularly on the heels of WWII) it deeply impressed the "find peace at any cost" message on his generation.

As a result of the Cold War, the nations of western Europe were forced into an alliance (NATO) whereby their centuries-long enmities (as between France and Germany) had to be suppressed for the sake of common survival. Negotiation became the key to survival in western Europe, and the same message was driven home to those in Eastern bloc countries, such as John Paul II's native Poland.

By letting the US shoulder the main burden for the military defense of Europe (during and after the Cold War), many Europeans of John Paul II's generation absorbed the idea that negotiation was paramount and could solve virtually any problem. It wasn't until the events of the Global War On Terror that this idea began to be seriously called into question many in European circles.

As a result, as a man of his generation, John Paul II--for the best of motives--may have overestimated both the need for and the utility of gestures such as the one exhibited in the Quran-kissing event.

If the former pontiff did understand that the gift was a Quran and if he wasn't under the impression that kissing a gift was a standard response in Iraqi culture then I would suppose that he did so out of a desire to foster peace and interreligious harmony, but it would still have been a mistake to my mind.

The Quran, whatever elements of truth it contains, also contains venomous attacks on the divinity of Christ and on Christian doctrine and these make it inappropriate for the Vicar of Christ to kiss it under any circumstances.

John Paul II also may not have been attending to the gravity of the false elements in the Quran. Even if he knew them, he may not have been thinking about them and may have acted on the spur of the moment, without fully thinking through his action.

Fortunately, the infallibility of the pope and the indefectibility of the Church do not extend to such actions. A pope is not attempting to make anything remotely like a dogmatic definition in an act of this nature. And so, however misguided the action may have been and however good the motives for it may have been, it would constitute an error that does not touch upon papal infallibility or ecclesial indefectibility.

It would be one of the mistakes that all fallen humans are heir to, even the vicars of Christ.


Feedback
to Romance Catholic Blog
to Jimmy Akin Org.



Senin, 08 Februari 2010

AL QURAN

Dari Wikipedia Bahasa Indonesia- Ensiklopedi Bebas
Al-Qur’ān (ejaan KBBI: Alquran, Arab: القرآن) adalah kitab suci agama Islam. Umat Islam percaya bahwa Al-Qur'an merupakan puncak dan penutup wahyu Allah yang diperuntukkan bagi manusia, dan bagian dari rukun iman, yang disampaikan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melalui perantaraan Malaikat Jibril. Dan sebagai wahyu pertama yang diterima oleh Rasulullah SAW adalah sebagaimana yang terdapat dalam surat Al-'Alaq ayat 1-5[1].

ETIMOLOGI

Ditinjau dari segi kebahasaan, Al-Qur’an berasal dari bahasa Arab yang berarti "bacaan" atau "sesuatu yang dibaca berulang-ulang". Kata Al-Qur’an adalah bentuk kata benda (masdar) dari kata kerja
qara'a yang artinya membaca. Konsep pemakaian kata ini dapat juga dijumpai pada salah satu surat Al-Qur'an sendiri yakni pada ayat 17 dan 18 Surah Al-Qiyamah yang artinya:
“Sesungguhnya mengumpulkan Al-Qur’an (di dalam dadamu) dan (menetapkan) bacaannya (pada lidahmu) itu adalah tanggungan Kami. (Karena itu,) jika Kami telah membacakannya, hendaklah kamu ikuti {amalkan} bacaannya”.(75:17-75:18)
TERMINOLOGI

Dr. Subhi Al Salih mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
“Kalam Allah SWT yang merupakan mukjizat yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan ditulis di mushaf serta diriwayatkan dengan mutawatir, membacanya termasuk ibadah”.

Adapun Muhammad Ali ash-Shabuni mendefinisikan Al-Qur'an sebagai berikut:
"Al-Qur'an adalah firman Allah yang tiada tandingannya, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW penutup para Nabi dan Rasul, dengan perantaraan Malaikat Jibril a.s. dan ditulis pada mushaf-mushaf yang kemudian disampaikan kepada kita secara mutawatir, serta membaca dan mempelajarinya merupakan ibadah, yang dimulai dengan surat Al-Fatihah dan ditutup dengan surat An-Nas"

Dengan definisi tersebut di atas sebagaimana dipercayai Muslim, firman Allah yang diturunkan kepada Nabi selain Nabi Muhammad SAW, tidak dinamakan Al-Qur’an seperti Kitab Taurat yang diturunkan kepada umat Nabi Musa AS atau Kitab Injil yang diturunkan kepada umat Nabi Isa AS. Demikian pula firman Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya tidak dianggap sebagai ibadah, seperti Hadits Qudsi, tidak termasuk Al-Qur’an.

JAMINAN TENTANG KEMURNIAN AL QUR'AN DAN BUKTI-BUKTINYA

Kemurnian Kitab Al-Quran ini dijamin langsung oleh Allah, yaitu Dzat yang menciptakan dan menurunkan Al-Quran itu sendiri. Dan pada kenyataannya kita bisa melihat, satu-satu kitab yang mudah dipelajari bahkan sampai dihafal oleh beribu-ribu umat Islam.

NAMA-NAMA LAIN AL QUR'AN

Dalam Al-Qur'an sendiri terdapat beberapa ayat yang menyertakan nama lain yang digunakan untuk merujuk kepada Al-Qur'an itu sendiri. Berikut adalah nama-nama tersebut dan ayat yang mencantumkannya:
  • Al-Kitab, QS(2:2),QS (44:2)
  • Al-Furqan (pembeda benar salah): QS(25:1)
  • Adz-Dzikr (pemberi peringatan): QS(15:9)
  • Al-Mau'idhah (pelajaran/nasehat): QS(10:57)
  • Al-Hukm (peraturan/hukum): QS(13:37)
  • Al-Hikmah (kebijaksanaan): QS(17:39)
  • Asy-Syifa' (obat/penyembuh): QS(10:57), QS(17:82)
  • Al-Huda (petunjuk): QS(72:13), QS(9:33)
  • At-Tanzil (yang diturunkan): QS(26:192)
  • Ar-Rahmat (karunia): QS(27:77)
  • Ar-Ruh (ruh): QS(42:52)
  • Al-Bayan (penerang): QS(3:138)
  • Al-Kalam (ucapan/firman): QS(9:6)
  • Al-Busyra (kabar gembira): QS(16:102)
  • An-Nur (cahaya): QS(4:174)
  • Al-Basha'ir (pedoman): QS(45:20)
  • Al-Balagh (penyampaian/kabar) QS(14:52)
  • Al-Qaul (perkataan/ucapan) QS(28:51)
STRUKTUR DAN PEMBAGIAN AL QUR'AN


SURAT, AYAT, DAN RUKU'

Al-Qur'an terdiri atas 114 bagian yang dikenal dengan nama surah (surat). Setiap surat akan terdiri atas beberapa ayat, di mana surat terpanjang dengan 286 ayat adalah surat Al Baqarah dan yang terpendek hanya memiliki 3 ayat yakni surat Al Kautsar, An-Nasr dan Al-‘Așr. Surat-surat yang panjang terbagi lagi atas sub bagian lagi yang disebut ruku' yang membahas tema atau topik tertentu.

MAKIYYAH DAN MADANIYAH

Sedangkan menurut tempat diturunkannya, setiap surat dapat dibagi atas surat-surat Makkiyah (surat Mekkah) dan Madaniyah (surat Madinah). Pembagian ini berdasarkan tempat dan waktu penurunan surat dan ayat tertentu di mana surat-surat yang turun sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah digolongkan surat Makkiyah sedangkan setelahnya tergolong surat Madaniyah. Pembagian berdasar fase sebelum dan sesudah hijrah ini lebih tepat, sebab ada surat Madaniyah yang turun di Mekkah.

JUZ DAN MANZIL

Dalam skema pembagian lain, Al-Qur'an juga terbagi menjadi 30 bagian dengan panjang sama yang dikenal dengan nama juz. Pembagian ini untuk memudahkan mereka yang ingin menuntaskan bacaan Al-Qur'an dalam 30 hari (satu bulan). Pembagian lain yakni manzil memecah Al-Qur'an menjadi 7 bagian dengan tujuan penyelesaian bacaan dalam 7 hari (satu minggu). Kedua jenis pembagian ini tidak memiliki hubungan dengan pembagian subyek bahasan tertentu.

MENURUT UKURAN SURAH

Kemudian dari segi panjang-pendeknya, surat-surat yang ada didalam Al-Qur’an terbagi menjadi empat bagian, yaitu:
SEJARAH AL QUR'AN HINGGA BERBENTUK MUSHAF
  • Penurunan Al-Qur'an

Al-Qur'an tidak turun sekaligus. Al-Qur'an turun secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari. Oleh para ulama membagi masa turun ini dibagi menjadi 2 periode, yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.

Periode Mekkah berlangsung selama 12 tahun masa kenabian
Rasulullah SAW dan surat-surat yang turun pada waktu ini tergolong surat Makkiyyah. Sedangkan periode Madinah yang dimulai sejak peristiwa hijrah berlangsung selama 10 tahun dan surat yang turun pada kurun waktu ini disebut surat Madaniyah.

  • Penulisan Al-Qur'an dan perkembangannya

Penulisan (pencatatan dalam bentuk teks) Al-Qur'an sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Kemudian transformasinya menjadi teks yang dijumpai saat ini selesai dilakukan pada zaman khalifah Utsman bin Affan.

PENGUMPULAN AL QUR'AN DI MASA RASULULLAH SAW

Pada masa ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, terdapat beberapa orang yang ditunjuk untuk menuliskan Al Qur'an yakni Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi Talib, Muawiyah bin Abu Sufyan dan Ubay bin Kaab. Sahabat yang lain juga kerap menuliskan wahyu tersebut walau tidak diperintahkan. Media penulisan yang digunakan saat itu berupa pelepah kurma, lempengan batu, daun lontar, kulit atau daun kayu, pelana, potongan tulang belulang binatang. Di samping itu banyak juga sahabat-sahabat langsung menghafalkan ayat-ayat Al-Qur'an setelah wahyu diturunkan.

PENGUMPULAN AL QUR'AN DI MASA KHULAFAUR RASYIDIN

  • Pada masa pemerintahan Abu Bakar
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, terjadi beberapa pertempuran (dalam perang yang dikenal dengan nama perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Qur'an dalam jumlah yang signifikan. Umar bin Khattab yang saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut lantas meminta kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan Al-Qur'an yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksaan tugas tersebut. Setelah pekerjaan tersebut selesai dan Al-Qur'an tersusun secara rapi dalam satu mushaf, hasilnya diserahkan kepada Abu Bakar. Abu Bakar menyimpan mushaf tersebut hingga wafatnya kemudian mushaf tersebut berpindah kepada Umar sebagai khalifah penerusnya, selanjutnya mushaf dipegang oleh anaknya yakni Hafsah yang juga istri Nabi Muhammad SAW.

  • Pada masa pemerintahan Utsman bin Affan
Pada masa pemerintahan khalifah ke-3 yakni Utsman bin Affan, terdapat keragaman dalam cara pembacaan Al-Qur'an (qira'at) yang disebabkan oleh adanya perbedaan dialek (lahjah) antar suku yang berasal dari daerah berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran Utsman sehingga ia mengambil kebijakan untuk membuat sebuah mushaf standar (menyalin mushaf yang dipegang Hafsah) yang ditulis dengan sebuah jenis penulisan yang baku. Standar tersebut, yang kemudian dikenal dengan istilah cara penulisan (rasam) Utsmani yang digunakan hingga saat ini. Bersamaan dengan standarisasi ini, seluruh mushaf yang berbeda dengan standar yang dihasilkan diperintahkan untuk dimusnahkan (dibakar). Dengan proses ini Utsman berhasil mencegah bahaya laten terjadinya perselisihan di antara umat Islam di masa depan dalam penulisan dan pembacaan Al-Qur'an.

Mengutip hadist riwayat Ibnu Abi Dawud dalam Al-Mashahif, dengan sanad yang shahih:
Suwaid bin Ghaflah berkata, "Ali mengatakan: Katakanlah segala yang baik tentang Utsman. Demi Allah, apa yang telah dilakukannya mengenai mushaf-mushaf Al Qur'an sudah atas persetujuan kami. Utsman berkata, 'Bagaimana pendapatmu tentang isu qira'at ini? Saya mendapat berita bahwa sebagian mereka mengatakan bahwa qira'atnya lebih baik dari qira'at orang lain. Ini hampir menjadi suatu kekufuran'. Kami berkata, 'Bagaimana pendapatmu?' Ia menjawab, 'Aku berpendapat agar umat bersatu pada satu mushaf, sehingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perselisihan.' Kami berkata, 'Pendapatmu sangat baik'."
Menurut Syaikh Manna' Al-Qaththan dalam Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an, keterangan ini menunjukkan bahwa apa yang dilakukan Utsman telah disepakati oleh para sahabat. Demikianlah selanjutnya Utsman mengirim utusan kepada Hafsah untuk meminjam mushaf Abu Bakar yang ada padanya. Lalu Utsman memanggil Zaid bin Tsabit Al-Anshari dan tiga orang Quraish, yaitu Abdullah bin Az-Zubair, Said bin Al-Ash dan Abdurrahman bin Al-Harits bin Hisyam. Ia memerintahkan mereka agar menyalin dan memperbanyak mushaf, dan jika ada perbedaan antara Zaid dengan ketiga orang Quraish tersebut, hendaklah ditulis dalam bahasa Quraish karena Al Qur'an turun dalam dialek bahasa mereka. Setelah mengembalikan lembaran-lembaran asli kepada Hafsah, ia mengirimkan tujuh buah mushaf, yaitu ke Mekkah, Syam, Yaman, Bahrain, Bashrah, Kufah, dan sebuah ditahan di Madinah (mushaf al-Imam).

UPAYA PENERJEMAHAN DAN PENAFSIRAN AL QUR'AN

Upaya-upaya untuk mengetahui isi dan maksud Al Qur'an telah menghasilkan proses penerjemahan (literal) dan penafsiran (lebih dalam, mengupas makna) dalam berbagai bahasa. Namun demikian hasil usaha tersebut dianggap sebatas usaha manusia dan bukan usaha untuk menduplikasi atau menggantikan teks yang asli dalam bahasa Arab. Kedudukan terjemahan dan tafsir yang dihasilkan tidak sama dengan Al-Qur'an itu sendiri.

  • Terjemahan

Terjemahan Al-Qur'an adalah hasil usaha penerjemahan secara literal teks Al-Qur'an yang tidak dibarengi dengan usaha interpretasi lebih jauh. Terjemahan secara literal tidak boleh dianggap sebagai arti sesungguhnya dari Al-Qur'an. Sebab Al-Qur'an menggunakan suatu lafazh dengan berbagai gaya dan untuk suatu maksud yang bervariasi; terkadang untuk arti hakiki, terkadang pula untuk arti majazi (kiasan) atau arti dan maksud lainnya.

Terjemahan dalam bahasa Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
  1. Al-Qur'an dan Terjemahannya, oleh Departemen Agama Republik Indonesia, ada dua edisi revisi, yaitu tahun 1989 dan 2002
  2. Terjemah Al-Qur'an, oleh Prof. Mahmud Yunus
  3. An-Nur, oleh Prof. T.M. Hasbi Ash-Siddieqy
  4. Al-Furqan, oleh A.Hassan guru PERSIS
Terjemahan dalam bahasa Inggris
  1. The Holy Qur'an: Text, Translation and Commentary, oleh Abdullah Yusuf Ali
  2. The Meaning of the Holy Qur'an, oleh Marmaduke Pickthall
Terjemahan dalam bahasa daerah Indonesia di antaranya dilaksanakan oleh:
  1. Qur'an Kejawen (bahasa Jawa), oleh Kemajuan Islam Jogyakarta
  2. Qur'an Suadawiah (bahasa Sunda)
  3. Qur'an bahasa Sunda oleh K.H. Qomaruddien
  4. Al-Ibriz (bahasa Jawa), oleh K. Bisyri Mustafa Rembang
  5. Al-Qur'an Suci Basa Jawi (bahasa Jawa), oleh Prof. K.H.R. Muhamad Adnan
  6. Al-Amin (bahasa Sunda)
  • Tafsir

Upaya penafsiran Al-Qur'an telah berkembang sejak semasa hidupnya Nabi Muhammad, saat itu para sahabat tinggal menanyakan kepada sang Nabi jika memerlukan penjelasan atas ayat tertentu. Kemudian setelah wafatnya Nabi Muhammad hingga saat ini usaha menggali lebih dalam ayat-ayat Al-Qur'an terus berlanjut. Pendekatan (metodologi) yang digunakan juga beragam, mulai dari metode analitik, tematik, hingga perbandingan antar ayat. Corak yang dihasilkan juga beragam, terdapat tafsir dengan corak sastra-bahasa, sastra-budaya, filsafat dan teologis bahkan corak ilmiah.

ADAB TERHADAP AL QUR'AN

Sebelum menyentuh sebuah mushaf Al-Qur'an, seorang Muslim dianjurkan untuk menyucikan dirinya terlebih dahulu dengan berwudhu. Hal ini berdasarkan tradisi dan interpretasi secara literal dari surat Al Waaqi'ah ayat 77 hingga 79.
Terjemahannya antara lain:56-77. Sesungguhnya Al-Qur'an ini adalah bacaan yang sangat mulia, 56-78. pada kitab yang terpelihara (Lauhul Mahfuzh), 56-79. tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (56:77-56:79)
Penghormatan terhadap teks tertulis Al-Qur'an adalah salah satu unsur penting kepercayaan bagi sebagian besar Muslim. Mereka memercayai bahwa penghinaan secara sengaja terhadap Al Qur'an adalah sebuah bentuk penghinaan serius terhadap sesuatu yang suci. Berdasarkan hukum pada beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim, hukuman untuk hal ini dapat berupa penjara kurungan dalam waktu yang lama dan bahkan ada yang menerapkan hukuman mati.

HUBUNGAN AL QUR'AN DENGAN KITAB-KITAB SUCI LAIN

Berkaitan dengan adanya kitab-kitab yang dipercayai diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Muhammad SAW dalam agama Islam (Taurat, Zabur, Injil, lembaran Ibrahim), Al-Qur'an dalam beberapa ayatnya menegaskan posisinya terhadap kitab-kitab tersebut. Berikut adalah pernyataan Al-Qur'an yang tentunya menjadi doktrin bagi ummat Islam mengenai hubungan Al-Qur'an dengan kitab-kitab tersebut:
  • Bahwa Al-Qur'an menuntut kepercayaan ummat Islam terhadap eksistensi kitab-kitab tersebut. QS(2:4)
  • Bahwa Al-Qur'an diposisikan sebagai pembenar dan batu ujian (verifikator) bagi kitab-kitab sebelumnya. QS(5:48)
  • Bahwa Al-Qur'an menjadi referensi untuk menghilangkan perselisihan pendapat antara ummat-ummat rasul yang berbeda. QS(16:63-64)
  • Bahwa Al-Qur'an meluruskan sejarah. Dalam Al-Qur'an terdapat cerita-cerita mengenai kaum dari rasul-rasul terdahulu, juga mengenai beberapa bagian mengenai kehidupan para rasul tersebut. Cerita tersebut pada beberapa aspek penting berbeda dengan versi yang terdapat pada teks-teks lain yang dimiliki baik oleh Yahudi dan Kristen.

Daftar Pustaka:

  • Departemen Agama Republik Indonesia -- Al-Qur'an dan Terjemahannya.
  • Baidan, Nashruddin. 2003. Perkembangan Tafsir Al Qur'an di Indonesia. Solo. Tiga Serangkai.
  • Baltaji, Muhammad. 2005. Metodologi Ijtihad Umar bin Al Khatab. (terjemahan H. Masturi Irham, Lc). Jakarta. Khalifa.
  • Faridl, Miftah dan Syihabudin, Agus --Al-Qur'an, Sumber Hukum Islam yang Pertama, Penerbit Pustaka, Bandung, 1989 M.
  • Ichwan, Muhammad Nor. 2001. Memasuki Dunia Al-Qur’an. Semarang. Lubuk Raya.
  • ------------------------------. 2004.Tafsir 'Ilmy: Memahami Al Qur'an Melalui Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta. Menara Kudus.
  • Ilyas, Yunahar. 1997. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur'an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
  • al Khuli, Amin dan Nasr Hamid Abu Zayd. 2004. Metode Tafsir Sastra. (terjemahan Khairon Nahdiyyin). Yogyakarta. Adab Press.
  • al Mahali, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As Suyuthi,2001, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Azbabun Nuzul Jilid 4 (terj oleh Bahrun Abu Bakar, Lc), Bandung, Sinar Algesindo.
  • Qardawi, Yusuf. 2003. Bagaimana Berinteraksi dengan Al-Qur’an. (terjemahan: Kathur Suhardi). Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
  • al-Qattan, Manna Khalil. 2001. Studi Ilmu-ilmu Al-Qur'an. Jakarta. Lentera Antar Nusa.
  • al-Qaththan, Syaikh Manna' Khalil. 2006. Pengantar Studi Ilmu Al-Qur'an (Mahabits fi 'Ulum Al Qur'an). Terjemahan: H. Aunur Rafiq El-Mazni, Lc, MA. Jakarta. Pustaka Al-Kautsar.
  • ash-Shabuny, Muhammad Aly. 1996. Pengantar Studi Al-Qur'an (at-Tibyan) (terjemahan: Moch. Chudlori Umar dan Moh. Matsna HS). Bandung. al-Ma’arif.
  • ash Shiddieqy,Teungku Muhammad Hasbi. 2002, Ilmu-ilmu Al Qur'an: Ilmu-ilmu Pokok dalam Menafsirkan Al Qur'an,Semarang, Pustaka Rizki Putra
  • Shihab, Muhammad Quraish. 1993. Membumikan Al-Qur'an. Bandung. Mizan.
  • -----------------------------------. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur'an Jilid 1. Jakarta. Lentera hati.
  • Wahid, Marzuki. 2005. Studi Al Qur'an Kontemporer: Perspektif Islam dan Barat. Bandung. Pustaka Setia.

Lihat juga: