PROGRAM AHAD DHUHA PEDULI

PROGRAM AHAD DHUHA PEDULI adalah Sebuah program kepedulian dalam pengembangan wirausaha dan kemandirian dari jama’ah untuk jama’ah ,

BERJAMAAH KITA HEBAT

“Bukan karena hebat kita berjamaah, tapi karena berjamaah kita menjadi HEBAT” Karena yang sedikit (sendirian) tidak berdampak, tapi bila dihimpun (berjama’ah) maka akan menjadi kekuatan besar.

MENGHIDUPKAN SUNNAH DENGAN BERNIAGA

Rasulullah SAW bersabda : Dari Abu Sa'id ra, dari Nabi Muhammad SAW bersabda, Seorang pebisnis yang jujur lagi amanah, maka ia akan bersama para nabi, shiddiqin dan syuhada. (HR. Turmudzi)

MENGHIMPUN DONATUR

Setiap kita bisa menjadi donatur, bukan besaran infaqnya yang terpenting, tapi banyaknya orang yang menjadi donatur menjadikan yang sedikit menjadi berlimpah. Faktor kali, bukan faktor besaran. Rp. 5000 per orang dikali 10.000 orang, maka nilainya menjadi besar.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

BERBUAT MELALUI PENGAJIAN AHAD DHUHA

Berjamaah membangun umat, untuk melakukan perubahan secara perlahan, menuju kejayaan Islam. Membekali ruhiyah dengan terus memperdalam pengetahuan untuk memberikan kemanfaatan.

AHAD DHUHA PEDULI

Photobucket

Selasa, 23 Agustus 2011

PELAJARAN DARI MALAIKAT JIBRIL

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ



عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَيْضًا قَالَ : بَيْنَمَا نَحْنُ جُلُوْسٌ عِنْدَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم ذَاتَ يَوْمٍ إِذْ طَلَعَ عَلَيْنَا رَجُلٌ شَدِيْدُ بَيَاضِ الثِّيَابِ شَدِيْدُ سَوَادِ الشَّعْرِ, لاَ يُرَى عَلَيْهِ أَثَرُ السَّفَرِ وَلاَ يَعْرِفُهُ مِنَّا أَحَدٌ, حَتَّى جَلَسَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم, فأَسْنَدَ رُكْبَتَيْهِ إِلَى رُكْبَتَيْهِ, وَوَضَعَ كَفَّيْهِ عَلَى فَخِذَيْهِ, وَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ أَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِسْلاَمِ, فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم : اَلإِسْلاَمُ أَنْ تَشْهَدَ أَنْ لاَإِ لَهَ إِلاَّ اللهُ وَ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ, وَتُقِيْمُ الصَّلاَةَ, وَتُؤْتِيَ الزَّكَاةَ, وَتَصُوْمَ رَمَضَانَ, وَتَحُجَّ الْبَيْتَ إِنِ اسْتَطَعْتَ إِلَيْهِ سَبِيْلاً. قَالَ : صَدَقْتُ. فَعَجِبْنَا لَهُ يَسْئَلُهُ وَيُصَدِّقُهُ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِيْمَانِ, قَالَ : أَنْ بِاللهِ, وَمَلاَئِكَتِهِ, وَكُتُبِهِ, وَرُسُلِهِ, وَالْيَوْمِ الآخِرِ, وَ تُؤْمِنَ بِالْقَدْرِ خَيْرِهِ وَ شَرِّهِ. قَالَ : صَدَقْتَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ الإِحْسَانِ, قَالَ : أَنْ تَعْبُدَ اللهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ فَإِنْ لَمْ تَكُنْ تَرَاهُ فَإِنَّهُ يَرَاكَ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنِ السَّاعَةِ قَالَ : مَا الْمَسْؤُوْلُ عَنْهَا بِأَعْلَمَ مِنَ السَّائِلِ. قَالَ : فَأَخْبِرْنِيْ عَنْ أَمَارَاتِهَا, قَالَ : أَنْ تَلِدَ الأَمَةُ رَبَّتَهَا, وَأَنْ تَرَى الْحُفَاةَ الْعُرَاةَ الْعَالَةَ رِعَاءَ الشَّاءِ يَتَطَاوَلُوْنَ فِيْ الْبُنْيَانِ, ثم اَنْطَلَقَ, فَلَبِثْتُ مَلِيًّا, ثُمَّ قَالَ : يَا عُمَرُ, أَتَدْرِيْ مَنِ السَّائِل؟ قُلْتُ : اللهُ وَ رَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قَالَ : فَإِنَّهُ جِبْرِيْلُ أَتَاكُمْ يُعَلِّمُكُمْ دِيْنَكُمْ. رَوَاهُ مُسْلِمٌ



Dengan Nama Allah Yang Maha Pemurah Lagi Maha Penyayang,

Umar bin Khaththab Radhiyallahu anhu berkata: "Suatu ketika, kami (para sahabat) duduk di dekat Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tiba-tiba muncul kepada kami seorang lelaki mengenakan pakaian yang sangat putih dan rambutnya amat hitam. Tak terlihat padanya tanda-tanda bekas perjalanan, dan tak ada seorang pun di antara kami yang mengenalnya. Ia segera duduk di hadapan Nabi, lalu lututnya disandarkan kepada lutut Nabi dan meletakkan kedua tangannya di atas kedua paha Nabi, kemudian ia berkata: “Hai, Muhammad! Beritahukan kepadaku tentang Islam.”



Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Islam adalah, engkau bersaksi tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar melainkan hanya Allah, dan sesungguhnya Muhammad adalah Rasul Allah; menegakkan shalat; menunaikan zakat; berpuasa di bulan Ramadhan, dan engkau menunaikan haji ke Baitullah, jika engkau telah mampu melakukannya."



Lelaki itu berkata: ”Engkau benar!” maka kami heran, ia yang bertanya ia pula yang membenarkannya.



Kemudian ia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang Iman”.

Nabi menjawab: ”Iman adalah, engkau beriman kepada Allah; malaikat-Nya; kitab-kitab-Nya; para Rasul-Nya; hari Akhir, dan beriman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk."



Ia berkata: “Engkau benar!”



Dia bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang ihsan.”

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Kalaupun engkau tidak melihat-Nya, sesungguhnya Dia melihatmu.”



Lelaki itu berkata lagi: “Beritahukan kepadaku kapan terjadi Kiamat?”

Nabi menjawab: ”Yang ditanya tidaklah lebih tahu daripada yang bertanya.”

Dia pun bertanya lagi: “Beritahukan kepadaku tentang tanda-tandanya!”

Nabi menjawab: ”Jika seorang budak wanita telah melahirkan tuannya; jika engkau melihat orang yang bertelanjang kaki, tanpa memakai baju (miskin papa) serta pengembala kambing telah saling berlomba dalam mendirikan bangunan megah yang menjulang tinggi.”



Kemudian lelaki tersebut segera pergi. Aku pun terdiam, sehingga Nabi bertanya kepadaku: “Wahai, Umar! Tahukah engkau, siapa yang bertanya tadi?”



Aku menjawab: ”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui,” Beliau bersabda, ”Dia adalah Jibril yang mengajarkan kalian tentang agama kalian.”



[HR. Muslim No. 8]

ISTIGHFAR MENURUT AL-QUR'AN DAN HADITS



Rasul dan suri tauladan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristigfar dan bertaubat padahal beliau adalah orang yang telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang. Sebagaimana hal ini terdapat pada firman Allah,



إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا لِيَغْفِرَ لَكَ اللَّهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ وَيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكَ وَيَهْدِيَكَ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا


“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata , supaya Allah memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta menyempurnakan ni’mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus.”
(Qs. Al Fath:1-2)



Dalam kitab shohih, dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,



كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا صَلَّى قَامَ حَتَّى تَفَطَّرَ رِجْلاَهُ قَالَتْ عَائِشَةُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَصْنَعُ هَذَا وَقَدْ غُفِرَ لَكَ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِكَ وَمَا تَأَخَّرَ فَقَالَ . يَا عَائِشَةُ أَفَلاَ أَكُونُ عَبْدًا شَكُورًا



“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terbiasa shalat sehingga kakinya pecah-pecah. Kemudian aku mengatakan kepada beliau, ‘Wahai rasulullah, kenapa engkau melakukan hal ini padahal engkau telah diampuni dosa yang telah lalu dan akan datang.’ Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, ‘Tidakkah engkau menyukai aku menjadi hamba yang bersyukur." [HR. Muslim no. 7304]



Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Inilah kekhususan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seorang pun tidak ada yang menyamainya. Tidak ada dalam satu hadits shohih pun yang menceritakan tentang balasan amalan kepada selain beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa dosanya yang telah lalu dan akan datang akan diampuni. Inilah yang menunjukkan kemuliaan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam segala perkara ketaatan, kebaikan dan keistiqomahan yang tidak didapati oleh manusia selain beliau, baik dari orang yang terdahulu maupun orang yang belakangan. Beliaulah manusia yang paling sempurna secara mutlak dan beliaulah pemimpin (sayid) seluruh manusia di dunia dan akhirat.”



Walaupun dosa-dosa beliau telah diampuni, namun beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling banyak beristigfar di setiap waktu. Para sahabat telah menghitung dalam setiap majelisnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terlihat paling banyak beristigfar.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



وَاللَّهِ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ فِى الْيَوْمِ أَكْثَرَ مِنْ سَبْعِينَ مَرَّةً



“Demi Allah. Sungguh aku selalu beristighfar dan bertaubat kepada Allah dalam sehari lebih dari 70 kali.” [HR. Bukhari]



يَا أَيُّهَا النَّاسُ تُوبُوا إِلَى اللَّهِ فَإِنِّى أَتُوبُ فِى الْيَوْمِ إِلَيْهِ مِائَةَ مَرَّةٍ



“Wahai sekalian manusia. Taubatlah (beristigfar) kepada Allah karena aku selalu bertaubat kepada-Nya dalam sehari sebanyak 100 kali.” [HR. Muslim]



Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu berkata,



كَانَ فِى لِسَانِى ذَرَبٌ عَلَى أَهْلِى لَمْ أَعْدُهُ إِلَى غَيْرِهِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-


“Dulu lisanku biasa berbuat keji kepada keluargaku. Namun, aku tidaklah menganiaya yang lainnya. Kemudian aku menceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,



أَيْنَ أَنْتَ مِنَ الاِسْتِغْفَارِ يَا حُذَيْفَةُ إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ كُلَّ يَوْمٍ مِائَةَ مَرَّةٍ وَأَتُوبُ إِلَيْهِ



“Mana istigfarmu, wahai Hudzaifah? Sesungguhnya aku selalu beristigfar kepada Allah setiap hari sebanyak 100 kali dan aku juga bertaubat kepada-Nya.”
[HR. Ahmad. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sabda Nabi ‘إِنِّى لأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ’ adalah shohih lighoirihi yaitu shohih namun dilihat dari jalur lainnya yang lebih kuat atau semisal dengannya. Sedangkan sanad hadits ini dho’if]



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,



مَا أَصْبَحْتُ غَدَاةً قَطٌّ إِلاَّ اِسْتَغْفَرْتُ اللهَ مِائَةَ مَرَّةٍ


“Tidaklah aku berada di pagi hari (antara terbit fajar hingga terbit matahari) kecuali aku beristigfar pada Allah sebanyak 100 kali.”
[HR. An Nasa’i. Dishohihkan oleh Syaikh Al Albani di Silsilah Ash Shohihah no. 1600]



Dari Ibnu Umar, beliau mengatakan bahwa jika kami menghitung dzikir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam satu majelis, beliau mengucapkan,



رَبِّ اغْفِرْ لِى وَتُبْ عَلَىَّ إِنَّكَ أَنْتَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ



‘Robbigfirliy wa tub ‘alayya, innaka antat tawwabur rohim’ - Ya Allah ampunilah aku dan terimalah taubatku, sesungguhnya Engkau Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang - sebanyak 100 kali. [HR. Abu Daud. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Silsilah Ash Shohihah no. 556]



Dan bacaan istighfar yang paling sempurna adalah penghulu istighfar (sayyidul istighfar) sebagaimana yang terdapat dalam shohih Al Bukhari dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Penghulu istighfar adalah apabila engkau mengucapkan,



اَللَّهُمَّ أَنْتَ رَبِّيْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، خَلَقْتَنِيْ وَأَنَا عَبْدُكَ، وَأَنَا عَلَى عَهْدِكَ وَوَعْدِكَ مَا اسْتَطَعْتُ، أَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّ مَا صَنَعْتُ، أَبُوْءُ لَكَ بِنِعْمَتِكَ عَلَيَّ، وَأَبُوْءُ بِذَنْبِيْ فَاغْفِرْ لِيْ فَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ



“Allahumma anta robbi laa ilaha illa anta, kholaqtani wa ana ‘abduka wa ana ‘ala ‘ahdika wa wa’dika mastatho’tu. A’udzu bika min syarri maa shona’tu, abuu-u laka bini’matika ‘alayya, wa abuu-u bi dzanbi, faghfirliy fainnahu laa yaghfirudz dzunuuba illa anta - Ya Allah! Engkau adalah Rabbku, tidak ada Rabb yang berhak disembah kecuali Engkau. Engkaulah yang menciptakanku. Aku adalah hamba-Mu. Aku akan setia pada perjanjianku dengan-Mu semampuku. Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekan yang kuperbuat. Aku mengakui nikmat-Mu kepadaku dan aku mengakui dosaku, oleh karena itu, ampunilah aku. Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau.” [HR. Bukhari no. 6306]



Faedah dari bacaan ini adalah sebagaimana yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sabdakan dari lanjutan hadits di atas,



وَمَنْ قَالَهَا مِنَ النَّهَارِ مُوقِنًا بِهَا ، فَمَاتَ مِنْ يَوْمِهِ قَبْلَ أَنْ يُمْسِىَ ، فَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ ، وَمَنْ قَالَهَا مِنَ اللَّيْلِ وَهْوَ مُوقِنٌ بِهَا ، فَمَاتَ قَبْلَ أَنْ يُصْبِحَ ، فَهْوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ »



“Barangsiapa mengucapkannya pada siang hari dan meyakininya, lalu dia mati pada hari itu sebelum waktu sore, maka dia termasuk penghuni surga. Dan barangsiapa mengucapkannya pada malam hari dalam keadaan meyakininya, lalu dia mati sebelum waktu pagi, maka dia termasuk penghuni surga.”



Hadits sayyidul istigfar ini meliputi makna taubat dan terdapat pula hak-hak keimanan. Di dalam hadits ini juga terkandung kemurnian ibadah dan kesempurnaan ketundukan serta perasaan sangat butuh kepada Allah. Sehingga bacaan dzikir ini melebihi bacaan istigfar lainnya karena keutamaan yang dimilikinya. –Semoga kita termasuk orang yang selalu merutinkannya di setiap pagi dan sore.



Bacaan istigfar lainnya adalah sebagaimana terdapat dalam shohih Bukhari dari istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Aisyah radhiyallahu ‘anha. Aisyah berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (ketika menjelang kematiannya) sedang bersandar padanya. Lalu beliau mengucapkan,



اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَارْحَمْنِى وَأَلْحِقْنِى بِالرَّفِيقِ الأَعْلَى



“Ya Allah, ampunilah aku, kasihilah aku dan kumpulkanlah aku bersama orang-orang sholih.” [HR. Bukhari no. 5674. Lihat Al Muntaqho Syar Al Muwatho’]



Jadi lihatlah kehidupan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang setiap waktunya selalu diisi dengan istighfar bahkan sampai akhir hayat hidupnya pun beliau tidak lepas dari amalan tersebut. Sebagaimana beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu mengakhiri amalan-amalan sholihnya seperti shalat, haji, shalat malam dengan istigfar, beliau juga mengakhiri hidupnya dengan istigfar.



Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saja yang sudah dijamin dosanya yang telah lalu dan akan datang akan diampuni, bagaimana lagi dengan kita yang tidak dijamin seperti itu[?] Sungguh, kita sebenarnya yang lebih pantas untuk bertaubat dan beristighfar setiap saat karena dosa kita yang begitu banyak dan tidak pernah bosan-bosannya kita lakukan.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, Allah Ta’ala berfirman,



يَا عِبَادِى إِنَّكُمْ تُخْطِئُونَ بِاللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَأَنَا أَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا فَاسْتَغْفِرُونِى أَغْفِرْ لَكُمْ



“Wahai hamba-Ku, sesungguhnya kalian berbuat dosa di waktu siang dan malam, dan Aku mengampuni dosa-dosa itu semuanya, maka mintalah ampun kepada-Ku, pasti Aku mengampuni kalian.” [HR. Muslim no. 6737]



Semoga Allah mengaruniakan kepada kita keteladanan untuk selalu mengikuti jejak beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Semoga Allah memberikan kepada kita akhir hidup yang baik. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Mengabulkan do’a.



***



[Dari: Muhammad Abduh Tuasikal - rumaisho.com]

Kamis, 04 Agustus 2011

PUASA, BUKAN SEKEDAR MENAHAN LAPAR DAN DAHAGA

Ibadah puasa memiliki kedudukan tersendiri di sisi Allah Subhanahuwata'ala. Ia akan memberikan pahala yang berlipat ganda sesuai kualitas puasa yang dilakukan seorang hamba. Semakin tinggi kualitas puasanya, semakin banyak pula pahala yang didapat. Yaitu puasa yang tidak sekadar menahan lapar dan dahaga.

Puasa merupakan ibadah yang sangat dicintai Allah Subhanahuwata'ala. Hal ini sebagaimana tersebut dalam sebuah hadits dari Abu Hurairah ra bahwa Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ، الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ عَزَّ وَجَلَّ: إِلاَّ الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ، يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي

“Setiap amalan anak Adam akan dilipatgandakan pahalanya, satu kebaikan akan berlipat menjadi 10 kebaikan sampai 700 kali lipat. Allah berkata, ‘Kecuali puasa, maka Aku yang akan membalas orang yang menjalankannya karena dia telah meninggalkan keinginan-keinginan hawa nafsunya dan makannya karena Aku.” [Sahih, HR. Muslim]

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan betapa tingginya nilai puasa. Allah Subhanahuwata'ala akan melipatgandakan pahalanya bukan sekadar 10 atau 700 kali lipat, namun akan dibalas sesuai dengan keinginan-Nya. Padahal kita tahu bahwa IA Maha Pemurah, maka Ia tentu akan membalas pahala orang yang berpuasa dengan berlipat ganda.

Hikmah dari semua ini adalah sebagaimana tersebut dalam hadits, bahwa orang yang berpuasa telah meninggalkan keinginan hawa nafsu dan makannya karena Allah Subhanahuwata'ala. Tidak tampak dalam dzahir (lahiriah)nya dia sedang melakukan suatu amalan ibadah, padahal sesungguhnya dia sedang menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah Subhanahuwata'ala dengan menahan lapar dan dahaga. Sementara di sekitarnya ada makanan dan minuman.

Di samping itu, dia juga menjaga hawa nafsunya dari hal-hal yang bisa membatalkan puasa. Semua itu dilakukan karena mengharapkan keridhaan Allah Subhanahuwata'ala dengan meyakini bahwa Allah Ia mengetahui segala gerak-geriknya.

Di antara hikmahnya juga yaitu karena orang yang berpuasa sedang mengumpulkan seluruh jenis kesabaran di dalam amalannya. Yaitu sabar dalam taat kepada Allah Subhanahuwata'ala, dalam menjauhi larangan, dan di dalam menghadapi ketentuan takdir-Nya. Allah Subhanahuwata'ala berfirman:

قُلْ يَا عِبَادِ الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا رَبَّكُمْ لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا فِي هَذِهِ الدُّنْيَا حَسَنَةٌ وَأَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةٌ إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُم بِغَيْرِ حِسَابٍ

“Katakanlah: "Hai hamba-hamba-Ku yang beriman. Bertakwalah kepada Tuhanmu". Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan. Dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (QS. Az-Zumar[39]: 10)

Perlu menjadi catatan penting bahwa puasa bukanlah sekadar menahan diri dari makan, minum, dan hal-hal lainnya yang membatalkan puasa. Orang yang berpuasa harus pula menjaga lisan dan anggota badan lainnya dari segala yang diharamkan oleh Allah Subhanahuwata'ala. Namun bukan berarti ketika tidak sedang berpuasa boleh melakukan hal-hal yang diharamkan tersebut.

Maksudnya adalah bahwa perbuatan maksiat itu lebih berat ancamannya bila dilakukan pada bulan yang mulia ini dan ketika menjalankan ibadah yang sangat dicintai Allah Subhanahuwata'ala. Bisa jadi seseorang yang berpuasa itu tidak mendapatkan faedah apa-apa dari puasanya kecuali hanya merasakan haus dan lapar. Na’udzubillahi min dzalik.

Untuk itu ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh orang yang berpuasa agar mendapatkan balasan dan keutamaan-keutamaan yang telah dijanjikan ole Allah Subhanahuwata'ala. Di antaranya:

1. Setiap muslim harus membangun ibadah puasanya di atas iman kepada Allah Subhanahuwata'ala dalam rangka mengharapkan ridha-Nya, bukan karena ingin dipuji atau sekadar ikut-ikutan keluarga atau masyarakatnya yang sedang berpuasa. Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَاناً وَاحْتِسَاباً غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Barang siapa berpuasa Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” [Muttafaqun ‘alaih]

2. Menjaga anggota badannya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah Subhanahuwata'ala, seperti menjaga lisannya dari dusta, ghibah, dan lain-lain. Begitu pula menjaga matanya dari melihat orang lain yang bukan mahramnya baik secara langsung atau tidak langsung, seperti melalui gambar, film, dan sebagainya. Juga menjaga telinga, tangan, kaki, dan anggota badan lainnya dari bermaksiat kepada-Nya.

Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barang siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatannya, maka Allah tidak peduli dia meninggalkan makan dan minumnya.”
[Sahih, HR. al-Bukhari no. 1804]

Maka semestinya orang yang berpuasa tidak mendatangi pasar, supermarket, mal, atau tempat-tempat keramaian lainnya melainkan ada kebutuhan yang mendesak. Karena biasanya tempat-tempat tersebut bisa menyeretnya untuk mendengarkan dan melihat perkara-perkara yang diharamkan oleh Allah Subhanahuwata'ala. Begitu pula menjauhi televisi, karena tidak bisa dimungkiri lagi bahwa efek negatifnya sangat besar baik bagi orang yang berpuasa maupun yang tidak berpuasa.

3. Bersabar untuk menahan diri dan tidak membalas kejelekan yang ditujukan terhadapnya.
Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda dalam hadits Abu Hurairah ra:

الصِّياَمُ جُنَّةٌ، فَإِذَا كاَنَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَصْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي امْرُؤٌ صَائِمٌ

“Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah, ‘Saya sedang berpuasa’.” [Sahih, HR. Muslim]

Dari hadits tersebut bisa diambil pelajaran tentang wajibnya menjaga lisan. Apabila seseorang bisa menahan diri dari membalas kejelekan maka tentunya dia akan terjauhkan dari memulai menghina dan melakukan kejelekan lainnya.

Sesungguhnya puasa itu akan melatih dan mendorong seorang muslim untuk berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah Subhanahuwata'ala. Namun hasil yang demikian tidak akan didapat kecuali dengan menjaga puasanya dari beberapa hal yang tersebut di atas.

Puasa itu ibarat sebuah baju. Bila orang yang memakai baju itu menjaganya dari kotoran atau sesuatu yang merusaknya, tentu baju tersebut akan menutupi auratnya, menjaganya dari terik matahari dan udara yang dingin, serta memperindah penampilannya. Demikian pula puasa, orang yang mengamalkannya tidak akan mendapatkan buah serta faedahnya kecuali dengan menjaga diri dari hal-hal yang bisa mengurangi atau bahkan menghilangkan pahalanya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

[Dari Asy Syariah]

NIKMAT BULAN SUCI RAMADHAN

Dalam rangka menyambut bulan suci Ramadhan, kami sajikan risalah ini dengan mengharap kepada Allah agar menjadikan amalan-amalan kita semua ikhlas semata-mata karena-Nya. Dan sesuai apa yang dibawa nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, maka kami sampaikan dengan mengharap pertolongan dn ridha Allah subhanahuwata'ala:

1. Tidak ada keraguan lagi bahwasannya di antara nikmat Allah subhanahu wata’ala yang dianugerahkan kepada hamba-Nya adalah bulan Ramadhan yang mulia ini. Allah subhanahu wata’ala menjadikan bulan ini sebagai bulan terkumpulnya segala kebaikan dan kesempatan untuk melaksanakan amalan-amalan shalih. Dan Allah subhanahu wata’ala mencurahkan nikmat kepada hamba-Nya pada bulan ini dengan nikmat-nikmat yang telah lalu, dan nikmat yang terus-menerus.

Pada bulan ini Allah subhanahu wata’ala menurunkan Al Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia dan penjelas dari Al-Huda dan Al-Furqan. Padanya terjadi perang Badar kubra, dimana Allah subhanahu wata’ala memuliakan Islam dan kaum muslimin serta menghinakan kesyirikan dan para pelakunya, sehingga hari tersebut dinamakan dengan Yaumul Furqon (Hari Pembeda antara yang benar dan yang batil). Padanya pula terjadi Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) yang dengannya Allah mensucikan Baitul Haram dari berhala-berhala, dan umat manusia pun berbondong-bondong masuk ke dalam agama Islam.

Barangsiapa berpuasa pada bulan ini karena iman dan mengharap ridha serta pahala dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang menunaikan Qiyam Ramadhan (shalat tarawih) karena iman dan mengharap ridha serta pahala dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu. Dan barangsiapa yang shalat malam (shalat tarawih) pada malam Lailatul Qadar karena iman dan mengharap ridha serta pahala dari Allah maka diampuni dosanya yang telah lalu.

2. Shalat tarawih yang kita lakukan di bulan ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharap pahala sebagaimana yang telah disebutkan di atas, akan mendapatkan keutamaan sebagaimana penjelasan dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:

مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامَ لَيْلَةٍ

“Barangsiapa yang shalat (tarawih) bersama imam sampai selesai maka dicatat baginya seperti shalat semalam suntuk.”

Ini merupakan nikmat yang besar, tidak sepantasnya bagi seorang mukmin untuk meninggalkannya, bahkan sudah seyogyanya ia menekuninya, serta menjaga shalat tarawih bersama imam dari awal hingga akhirnya.

3. Mayoritas dari para imam masjid mempercepat ruku’ dan sujud di dalam shalat tarawih sehingga memberatkan para makmum yang shalat di belakangnya. Bahkan tidak jarang sebagian para imam sangat cepat (shalatnya) sehingga dapat menghilangkan tuma’ninah. Padahal tuma’ninah itu merupakan rukun shalat, dan tidaklah sah shalat seseorang tanpa adanya tuma’ninah. Kalaupun sekiranya dia tidak meninggalkan tuma’ninah, ia akan menghilangkan kebersamaan gerakan makmum. Karena tidak memungkinkan bagi mereka mengikuti imam secara sempurna karena cepatnya gerakan imam.

Berkata para ulama -semoga Allah subhanahu wata’ala merahmati mereka- : “sesungguhnya makruh hukumnya bagi seorang imam mempercepat gerakan yang menghalangi makmum untuk mengerjakan perkara sunnah.” Maka bagaimana kalau sekiranya dia sampai menghalangi makmum untuk mengerjakan perkara yang wajib?

Maka harapan kita bagi para imam untuk membimbing jamaah yang shalat yang menjadi makmum di belakangnya, agar menunaikan shalat tarawih dengan penuh tuma’ninah. Hendaknya para imam mengetahui bahwa shalat yang mereka kerjakan itu dalam rangka menghadap kepada maula (Rabb mereka) dalam keadaan bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Nya dengan membaca kalam-Nya, bertakbir kepada-Nya, mengagungkan-Nya, memuji-Nya dan berdoa kepada-Nya dengan sesuatu yang mereka cintai dari kebaikan dunia dan akhirat. Mereka akan lebih di atas kebaikan jika mereka ingin menambah ssedikit waktu, dan sebenarnya perkara ini sangatlah mudah walhamdulillah.

4. Allah subhanahu wata’ala telah memberikan kewajiban bagi seluruh kaum muslimin yang mukallaf, yang memiliki kemampuan dan yang bermukim untuk ber-shaum. Adapun bagi anak kecil yang belum baligh, maka tidak ada kewajiban baginya. Berdasarkan sabda Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ : وَذَكَرَ: الصَّبِي حَتَّى يَبْلُغَ

“Telah diangkat pena dari 3 golongan, (dan disebutkan diantaranya) Anak kecil sampai ia baligh.”
[HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi].

Akan tetapi sudah merupakan kewajiban bagi orang tua agar memerintahkan anak-anaknya untuk ber-shaum apabila telah sampai pada batasan yang anak tersebut mampu untuk ber-shaum. Karena hal itu termasuk bagian pendidikan dan latihan baginya untuk mengerjakan rukun-rukun Islam. Kita melihat sebagian orang tua membiarkan anak-anaknya, mereka tidak memerintahkan shalat dan puasa, maka ini adalah suatu kesalahan. Sesungguhnya dia akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah subhanahu wata’ala. Dalam keadaan mereka menyangka dengan tidak menyuruh anak-anak mereka shaum itu sebagai bentuk kelembutan dan kasih sayang kepada mereka.

Dan pada hakekatnya, orang tua yang berlemah lembut dan berkasih-sayang kepada anak-anaknya adalah orang tua yang melatih mereka di atas perilaku kebaikan, bukan orang tua yang mengabaikan tentang pengajaran dan pendidikan yang bermanfaat bagi mereka.

Sedangkan hukum bagi orang yang gila, pikun, dan semisalnya, maka tidak ada kewajiban bagi mereka shaum dan membayar fidyah, karena tidak adanya akal pada mereka. Adapun orang yang lemah tapi bisa diharapkan hilangnya kelemahan darinya, hukumnya seperti orang sakit yang bisa diharapkan kesembuhannya, maka dia menunggu sampai Allah subhanahu wata’ala menyembuhkan-Nya, kemudian ia meng-qadha’. Berdasarkan firman Allah subhanahu wata’ala:

أَيَّاماً مَّعْدُودَاتٍ فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضاً أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ خَيْراً فَهُوَ خَيْرٌ لَّهُ وَأَن تَصُومُواْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

“(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan
, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. Al Baqarah[2]: 184)

Adapun orang lemah (tua) yang tidak bisa diharapkan hilangnya kelemahannya seperti orang tua (jompo) dan orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya, maka tidak ada kewajiban shaum baginya. Namun dalam hal ini ia berkewajiban memberikan makan setiap hari seorang fakir miskin.

Adapun wanita yang haidh dan nifas, maka tidak ada kewajiban untuk ber-shaum. Namun ia meng-qadha’ setelah suci sejumlah hari yang ia tinggalkan. Dan jika haidh atau nifas itu terjadi di siang hari, maka batal shaumnya. Dan wajib baginya untuk mengganti di hari yang lain sejumlah hari yang dia tidak berpuasa karena haidh/nifas. Sebagaimana pula jika berhentinya darah haidh atau nifas di tengah hari bulan Ramadhan, maka wajib baginya untuk menahan diri (tidak makan dan minum) dari sisa waktu shaum. Akan tetapi, ia tidak menganggap itu sebagai shaum yang sempurna, bahkan dia tetap wajib meng-qadha’-nya.

Adapun bagi seorang musafir, maka ia diberi pilihan. Jika ia mau, boleh baginya berpuasa dan boleh baginya untuk berbuka. Kecuali apabila shaum itu memberatkan baginya maka sesungguhnya yang lebih baik baginya adalah berbuka. Dan dimakruhkan baginya untuk berpuasa karena perbuatan itu dapat memalingkan dan meremehkan rukhshah (keringanan) yang telah diberikan oleh Dzat Yang Maha Penyayang lagi Maha Mulia (Allah subhanahu wata’ala). Jika shaum tidak memberatkan baginya dan kebutuhannya tetap terpenuhi, maka ber-shaum lebih utama baginya. Sebagaimana hadits Abu Darda’ yang terdapat di dalam Ash Shahihain, ia berkata:

“Kami keluar bersama Rasulullah pada bulan Ramadhan dalam keadaan cuaca yang sangat panas sampai salah seorang di antara kami meletakkan tangannya di atas kepalanya karena panas yang sangat, dan tidak ada di antara kami yang berpuasa, kecuali Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.” [HR. Abu Darda]

Semoga bermanfaat!

KHUTBAH RASULULLAH MENJELANG AKHIR SYA'BAN

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ

”Wahai manusia, sunguh telah dekat kepadamu bulan yang agung, bulan yang penuh dengan keberkahan, yang di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik (nilainya) dari seribu bulan, bulan yang mana Allah tetapkan puasa di siang harinya sebagai fardhu, dan shalat (tarawih) di malamnya sebagai sunah. Barang siapa mendekatkan diri kepada Allah di bulan ini dengan satu kebaikan (amalan sunnah), maka pahalanya seperti dia melakukan amalan fardhu di bulan-bulan yang lain.

Barangsiapa melakukan amalan fardhu di bulan ini, maka pahalanya seperti telah melakukan 70 amalan fardhu di bulan lainnya. Inilah bulan kesabaran dan balasan atas kesabaran adalah surga, bulan ini merupakan bulan kedermawanan dan simpati (satu rasa) terhadap sesama. Dan bulan dimana rizki orang-orang yang beriman ditambah. Barang siapa memberi makan (untuk berbuka) orang yang berpuasa maka baginya pengampunan atas dosa-dosanya dan dibebaskan dari api neraka dan dia mendapatkan pahala yang sama sebagaimana yang berpuasa tanpa mengurangi sedikitpun pahala orang yang berpuasa.

Mereka (para sahabat) berkata : “Wahai Rasulullah! tidak semua dari kami mempunyai sesuatu yang bisa diberikan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka.”

Rasulullah menjawab: “Allah akan memberikan pahala ini kepada orang yang memberi buka puasa walaupun dengan sebiji kurma, atau seteguk air, atau setetes susu”. Inilah bulan yang permulaannya (sepuluh hari pertama) Allah menurunkan rahmat, yang pertengahannya (sepuluh hari pertengahan) Allah memberikan ampunan, dan yang terakhirnya (sepuluh hari terakhir) Allah membebaskan hamba-Nya dari api neraka . Barangsiapa yang meringankan hamba sahayanya di bulan ini, maka Allah SWT akan mengampuninya dan membebaskannya dari api neraka.

Dan perbanyaklah melakukan empat hal di bulan ini, yang dua hal dapat mendatangkan keridhaan Tuhanmu, dan yang dua hal kamu pasti memerlukannya. Dua hal yang mendatangkan keridhaan Allah yaitu syahadah (Laailaaha illallaah) dan beristighfar kepada Allah, dan dua hal yang pasti kalian memerlukannya yaitu mohonlah kepada-Nya untuk masuk surga dan berlindung kepada-Nya dari api neraka . Dan barang siapa memberi minum kepada orang yang berpuasa (untuk berbuka), maka Allah akan memberinya minum dari telagaku (Haudh) dimana dengan sekali minum ia tidak akan merasakan haus sehingga ia memasuki surga “. [Shahih ibnu Khuzaymah no. 1887]


BENARKAH INI MEMBATALKAN PUASA?

Berbicara puasa tentu tidak bisa dipisahkan dengan hal-hal yang membatalkannya. Menjadi penting untuk terus dikaji karena di tengah-tengah masyarakat Muslim juga tumbuh fikih-fikih tertentu yang berkaitan dengan pembatal-pembatal puasa dan sangat masyhur, namun sebagian di antaranya tidak dibangun di atas dalil.

Ada sejumlah persoalan yang sering menjadi perselisihan di antara kaum muslimin seputar pembatal-pembatal puasa. Di antaranya memang ada yang menjadi silang pendapat di antara para ulama. Namun ada pula hanya sekadar anggapan yang berlebih-lebihan dan tidak kuat dalil-dalilnya.

Melalui tulisan ini akan dikupas beberapa permasalahan yang oleh sebagian umat dianggap sebagai pembatal puasa namun sesungguhnya tidak demikian. Keterangan-keterangan berikut sebagian besar disarikan dari Kitab Fatwa Ramadhan, cetakan pertama dari penerbit Adhwa’ as-Salaf, yang berisi kumpulan fatwa para ulama seperti asy-Syaikh Ibnu Baz, asy-Syaikh al-‘Utsaimin, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan, dan lain-lain rahimahumullahu ajma’in. Di antara faedah yang dapat kita petik dari kitab ini adalah:

1. Bahwa orang yang melakukan pembatal-pembatal puasa dalam keadaan lupa, dipaksa, dan tidak tahu dari sisi hukumnya, tidaklah batal puasanya. Begitu pula orang yang tidak tahu dari sisi waktunya, seperti orang yang menunaikan sahur setelah terbit fajar dalam keadaan yakin bahwa waktu fajar belum tiba.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin setelah menjelaskan tentang pembatal-pembatal puasa, berkata, “Pembatal-pembatal ini akan merusak puasa, namun tidak merusaknya kecuali memenuhi tiga syarat: mengetahui hukumnya, ingat (tidak dalam keadaan lupa), dan disengaja (bukan karena terpaksa).”
Kemudian beliau membawakan beberapa dalil. Di antaranya hadits yang menjelaskan bahwa Allah l telah mengabulkan doa yang tersebut dalam firman-Nya:

“Ya Allah, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kalau kami salah (karena tidak tahu).” (QS. Al-Baqarah[2]: 286)

Hadits yang menjelaskan hal tersebut ada di dalam Shahih Muslim. Begitu pula ayat ke-106 di dalam surat an-Nahl yang menjelaskan tidak berlakunya hukum kekafiran terhadap orang yang melakukan kekafiran karena dipaksa. Maka hal ini tentu lebih berlaku pada permasalahan yang berhubungan dengan pembatal-pembatal puasa. [Fatwa Ramadhan, 2/426—428]

Yang dimaksud oleh asy-Syaikh al-‘Utsaimin t adalah apabila orang tersebut benar-benar tidak tahu dan bukan orang yang tidak mau tahu, wallahu a’lam. Sehingga orang yang merasa dirinya teledor atau lalai karena tidak mau bertanya, tentu yang lebih selamat baginya adalah mengganti puasanya atau ditambah dengan membayar kaffarah bagi yang terkena kewajiban tersebut. [Lihat fatwa asy-Syaikh Ibnu Baz t di dalam Fatawa Ramadhan, 2/435]

2. Orang yang muntah bukan karena keinginannya (tidak sengaja) tidaklah batal puasanya. Hal ini sebagaimana tersebut dalam hadits:

مَنْ ذَرَعَهُ قَيْءٌ وَهُوَ صَائِمٌ فَلَيْسَ عـَليَهِ قَضَاءٌ، وَإِنِ اسْـتَقَاءَ فَلْيَـقْضِ

“Barang siapa yang muntah karena tidak disengaja, maka tidak ada kewajiban bagi dia untuk mengganti puasanya. Dan barang siapa yang muntah dengan sengaja maka wajib baginya untuk mengganti puasanya.” [HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan yang lainnya, disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani t di dalam al-Irwa’ no. 930]

Oleh karena itu, orang yang merasa mual ketika dia menjalankan puasa, sebaiknya tidak memuntahkan apa yang ada dalam perutnya karena hal ini akan membatalkan puasanya. Jangan pula dia menahan muntahnya karena ini pun akan berakibat negatif bagi dirinya. Maka biarkan muntahan itu keluar dengan sendirinya karena hal tersebut tidak membatalkan puasa. [Fatwa Ramadhan, 2/481]

3. Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh Ibnu Baz ra berkata,

“Tidak mengapa untuk menelan ludah. Saya tidak melihat adanya perselisihan ulama dalam hal ini, karena hal ini tidak mungkin untuk dihindari dan akan sangat memberatkan. Adapun dahak, wajib untuk diludahkan apabila telah berada di rongga mulut dan tidak boleh bagi orang yang berpuasa untuk menelannya karena hal itu memungkinkan untuk dilakukan dan tidak sama dengan ludah.”

4. Keluar darah bukan karena keinginannya seperti luka, atau karena keinginannya namun dalam jumlah yang sedikit, tidaklah membatalkan puasa. Asy-Syaikh al-‘Utsaimin t berkata dalam beberapa fatwanya:
  • “Keluarnya darah di gigi tidaklah memengaruhi puasa selama menjaga agar darahnya tidak tertelan….”
  • “Tes darah tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa, yaitu pengambilan darah untuk diperiksa jenis golongan darahnya dan dilakukan karena keinginannya, tidaklah mengapa….”
  • “Pengambilan darah dalam jumlah yang banyak jika berakibat sama dengan melakukan berbekam, seperti menyebabkan lemahnya badan dan membutuhkan zat makanan, maka hukumnya sama dengan berbekam (yaitu batal puasanya)….” [Fatwa Ramadhan, 2/460—466]

Maka, orang yang keluar darahnya akibat luka di giginya baik karena dicabut atau karena terluka giginya tidaklah batal puasanya. Namun dia tidak boleh menelan darah yang keluar itu dengan sengaja. Begitu pula orang yang dikeluarkan sedikit darahnya untuk diperiksa golongan darahnya tidaklah batal puasanya. Kecuali bila darah yang dikeluarkan dalam jumlah yang banyak sehingga membuat badannya lemah, maka hal tersebut membatalkan puasa sebagaimana orang yang berbekam (yaitu mengeluarkan darah dengan cara tertentu dalam rangka pengobatan).

Meskipun terjadi perbedaan pendapat yang cukup kuat dalam masalah ini, namun yang menenangkan tentunya adalah keluar dari perbedaan pendapat. Maka bagi orang yang ingin melakukan donor darah, sebaiknya dilakukan di malam hari, karena pada umumnya darah yang dikeluarkan jumlahnya besar. Kecuali dalam keadaan yang sangat dibutuhkan, maka dia boleh melakukannya di siang hari. Namun yang lebih hati-hati adalah agar dia mengganti puasanya di luar bulan Ramadhan.

5. Pengobatan yang dilakukan melalui suntik, tidaklah membatalkan puasa, karena obat suntik tidak tergolong makanan atau minuman. Berbeda halnya dengan infus, maka hal itu membatalkan puasa karena berfungsi sebagai zat makanan. Begitu pula pengobatan melalui tetes mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa kecuali bila dia yakin bahwa obat tersebut mengalir ke kerongkongan. Terdapat perbedaan pendapat, apakah mata dan telinga merupakan saluran ke kerongkongan sebagaimana mulut dan hidung, ataukah bukan. Namun wallahu a’lam, yang benar adalah bahwa keduanya bukanlah saluran yang akan mengalirkan obat ke kerongkongan. Maka obat yang diteteskan melalui mata atau telinga tidaklah membatalkan puasa. Meskipun bagi yang merasakan masuknya obat ke kerongkongan tidak mengapa baginya untuk mengganti puasanya agar keluar dari perselisihan. [Fatwa Ramadhan, 2/510—511]

6. Mencium dan memeluk istri tidaklah membatalkan puasa selama tidak keluar air mani meskipun mengakibatkan keluarnya madzi. Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda dalam sebuah hadits sahih yang artinya:

“Dahulu Rasulullah mencium (istrinya) dalam keadaan beliau berpuasa dan memeluk (istrinya) dalam keadaan beliau puasa. Akan tetapi beliau adalah orang yang paling mampu menahan syahwatnya di antara kalian.” [Lihat takhrijnya dalam kitab al-Irwa’, hadits no. 934]

Akan tetapi bagi orang yang mengkhawatirkan keluarnya mani dan terjatuh pada perbuatan jima’ karena syahwatnya yang kuat, maka yang terbaik baginya adalah menghindari perbuatan tersebut. Karena puasa bukanlah sekadar meninggalkan makan atau minum, tetapi juga meninggalkan syahwatnya. Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam bersabda:

...يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِي...

“(Orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makannya karena Aku (Allah).” [Sahih, HR. Muslim]

Beliau juga bersabda:

دَعْ مَا يَرِيْبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيْبُكَ

“Tinggalkan hal-hal yang meragukan kepada yang tidak meragukan.” [HR. at-Tirmidzi dan an-Nasa’i, dan At-Tirmidzi berkata, “Hadits hasan shahih.” Dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’]

7. Bagi laki-laki yang sedang berpuasa diperbolehkan untuk keluar rumah memakai wewangian. Namun bila wewangian itu berasal dari suatu asap atau semisalnya, maka tidak boleh untuk menghirup atau mengisapnya. Juga diperbolehkan baginya untuk menggosok giginya dengan pasta gigi kalau dibutuhkan. Namun dia harus menjaga agar tidak ada yang tertelan ke dalam kerongkongan, sebagaimana diperbolehkan bagi dirinya untuk berkumur dan memasukkan air ke hidung dengan tidak terlalu kuat agar tidak ada air yang tertelan atau terhisap. Namun seandainya ada yang tertelan atau terhisap dengan tidak sengaja, tidaklah membatalkan puasa. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam hadits:

“Bersungguh-sungguhlah dalam istinsyaq (menghirup air ketika berwudhu) kecuali jika engkau sedang berpuasa (maka tidak perlu bersungguh-sungguh).” [HR. Abu Dawud, 1/132, dan at-Tirmidzi, 3/788, an-Nasa’i, 1/66, dan disahihkan oleh asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’, hadits no. 935]

8. Diperbolehkan bagi orang yang berpuasa untuk menyiram kepala dan badannya dengan air untuk mengurangi rasa panas atau haus. Bahkan boleh pula untuk berenang di air dengan selalu menjaga agar tidak ada air yang tertelan ke kerongkongan.

9. Mencicipi masakan tidaklah membatalkan puasa, dengan menjaga jangan sampai ada yang masuk kerongkongan. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas ra dalam sebuah atsar, “Tidak apa-apa bagi seseorang untuk mencicipi cuka dan lainnya yang akan dia beli.” (Atsar ini dihasankan asy-Syaikh al-Albani di al-Irwa’ no. 937)

Demikianlah beberapa ringkasan penjelasan dari para ulama tentang pembatal puasa. Yang terpenting bagi setiap muslim adalah, meyakini bahwa Rasulullah Salallahu'alaihiwassalam tentu telah menjelaskan seluruh hukum yang ada dalam syariat Islam ini. Maka, kita tidak boleh menentukan sesuatu itu membatalkan puasa atau tidak dengan perasaan semata. Bahkan harus mengembalikannya kepada dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta penjelasan para ulama.

Wallahu a’lam bish-shawab.

[Dari Asy Syariah]

Rabu, 03 Agustus 2011

LANGKAH MENUJU MA'RIFAT

Manusia dilengkapi oleh Allah dua hal pokok, yaitu jasmani dan rohani. Dua hal ini memiliki keperluan masing-masing. Jasmani membutuhkan makan, minum, pelampiasan syahwat, keindahan, pakaian, perhiasan-perhiasan dan kemasyhuran. Rohani, pada sisi lain, membutuhkan kedamaian, ketenteraman, kasih-sayang dan cinta.

Para sufi menegaskan bahwa hakekat sesungguhnya dari manusia adalah rohaninya. Ia adalah muara segala kebajikan. Kebahagiaan badani sangat tergantung pada kebahagiaan rohani. Sedang, kebahagiaan rohani tidak terikat pada wujud luar jasmani manusia. Sebagai inti hidup, rohani harus ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi. Semakin tinggi rohani diletakkan, kedudukan manusia akan semakin agung. Jika rohani berada pada tempat rendah, hina pulalah hidup manusia.

Fitrah rohani adalah kemuliaan, jasmani pada kerendahan. Badan yang tidak memiliki rohani tinggi, akan selalu menuntut pemenuhan kebutuhan-kebutuhan rendah hewani. Rohani hendaknya dibebaskan dari ikatan keinginan hewani, yaitu kecintaan pada pemenuhan syahwat dan keduniaan. Hati manusia yang terpenuhi dengan cinta pada dunia, akan melahirkan kegelisahan dan kebimbangan yang tidak berujung. Hati adalah cerminan ruh. Kebutuhan ruh akan cinta bukan untuk dipenuhi dengan kesibukan pada dunia. Ia harus bersih.

Dalam rangkaian metode pembersihan hati, para sufi menetapkan dengan tiga tahap: Takhalli, Tahalli, dan Tajalli. Takhalli, sebagai tahap pertama dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi.

Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, lanjut para saleh sufi, seorang manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.

Tahalli, sebagai tahap kedua berikutnya, adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, melepas selain-Nya, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir.

Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.

Setelah tahap ‘pengosongan’ dan ‘pengisian’, sebagai tahap ketiga adalah Tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah subhanahu wata’ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridho’an-Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.

Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia sempurna. Ia bukan lagi hewan, tapi seorang malaikat yang berbadan manusia. Rohaninya telah mencapai ketinggian kebahagiaan. Tradisi sufi menyebut orang yang telah masuk pada tahap ketiga ini sebagai waliyullah, kekasih Allah. Orang-orang yang telah memasuki tahapan Tajalli ini, ia telah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia. Derajat ini pernah dilalui oleh Hasan Basri, Imam Junaidi al-Baghdadi, Sirri Singkiti, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyyah, Ma’ruf al-Karkhi, Imam Qusyairi, Ibrahim Ad-ham, Abu Nasr Sarraj, Abu Bakar Kalabadhi, Abu Talib Makki, Sayyid Ali Hujweri, Syekh Abdul Qadir Jaelani, dan lain sebagainya. Tahap inilah hakekat hidup dapat ditemui, yaitu kebahagiaan sejati.

Wallahu a’lam.


[Dari Rizqon Khamami - Blog Artikel Islami]