Pada siang hari, terkadang ia berlari berkeliling pasar atau ikut bermain dengan anak-anak. Para penduduk sudah biasa melihat tingkah lakunya. Mereka tidak khawatir pada anak mereka karena Hamdun tidak pernah menyakiti orang lain terlebih lagi ia sangat sayang pada anak kecil. Ada saja orang yang kasihan dan membawakan makanan untuknya buat berbuka puasa. Setahu mereka, Hamdun tidak pernah terlihat makan di siang hari. Mereka tahu Hamdun selalu berpuasa dan tiada putus puasanya. Yang lebih mengherankan lagi, Hamdun tidak mau tidur di sembarang tempat. Ia lebih suka tidur di emper satu-satunya masjid di daerah itu. Ia selalu tidur pada pagi hingga petang dan berjaga pada malam hari.
Suatu malam, kala kegilaannya datang Hamdun bersyair:
wahai kekasih,
padamu aku memuji
padamu aku berbakti
engkaulah yang aku cintai
wahai kekasih,
jangan kau tinggalkan aku
jangan kau benci aku
jangan kau cemburui aku
karena cintaku hanya untukmu
Setelah bersyair berulang-ulang memuji kekasihnya iapun mengakhiri syairnya dengan menangis.
Suatu siang singgahlah seorang musafir di masjid. Setelah sholat dhuhur ia keluar dan mendekati Hamdun yang sedang tidur. Ia mencoba membangunkannya, tetapi Hamdun tetap saja nyenyak dalam tidurnya.
"Wahai tuan yang sedang tidur, tidakkah engkau ingin melaksanakan sholat dhuhur? Janganlah engkau lewatkan waktu sholatmu dengan tidur panjangmu", kata musafir itu sambil terus membangunkan Hamdun. Hamdunpun akhirnya bangun dan menatap si musafir lalu berkata, "Apa pedulimu denganku? Aku sedang bermimpi bersama kekasihku tetapi engkau telah mengusik keasyikanku dengan sang kekasih!"
"Tidakkah engkau ingin melaksanakan sholat untuk menyembah tuhanmu?", tanyanya.
"Tuhan? Tuhan yang mana? Aku tidak menyembah Tuhan. Tiada sedikitpun kusimpan kata Tuhan dalam hatiku. Tiada Tuhan .. tiada Tuhan .. ," jawabnya.
"Masya Allah, mengapa kau berkata seperti itu?" tanyanya lagi pada Hamdun.
"Aku hanya memuja sang kekasih dan tiada tempat untuk Tuhan dihatiku", tekannya dalam jawaban.
"Apakah agamamu, wahai tuan yang tidak bertuhan?", tidak percayanya sang musafir akan perkataan Hamdun.
"Aku? Aku tidak beragama. Aku hanya bercinta kasih. Lalu apa agamamu?" Hamdun baliknya bertanya.
"Tidakkah engkau lihat aku berada dalam masjid. Tentunya aku adalah seorang muslim." jelas musafir itu masih dalam kebingungan.
"Bila engkau muslim, aku ingin bertanya. Di manakah tuhanmu berada, wahai orang yang banyak tanya?", pertanyaan Hamdun ini membuat si musafir tiada dapat berkata-kata. Ia diam bagai seorang bisu, lalu ia pergi meninggalkan Hamdun.
"Bah, engkau mengganggu tidurku saja. menyuruhku sholat tetapi engkau sendiri tidak tahu di mana Tuhanmu berada!" kata Hamdun sambil melanjutkan tidur siangnya.
wahai kekasih...
wahai kekasih,
tidak kuat aku menahan kerinduan ini
tiada sabar aku untuk berjumpa denganmu
tiada kuasa aku untuk menggapaimu
wahai kekasih...
wahai pujaan hati,
kegilaanku akan dirimu semakin menjadi
wahai kekasih...
wahai dambaan hati,
aku sebut selalu namamu dan kupatri dalam hatiku
Musafir tadi ternyata sedang mengamati dari kejauhan segala yang diperbuat Hamdun. tidak percaya pada Hamdun yang syair-syairnya berisikan kalimat-kalimat cinta yang indah. Tidak percaya bahwa Hamdun adalah seorang yang gila. Karena rasa penasaran pada apa yang telah Hamdun perbuat siang tadi padanya, iapun berjalan mendekati Hamdun kembali dan memberi salam, "Assalamu'alaikum, wahai orang tua ..."
Hamdun menoleh dan membalas salamnya, "'alaikumussalam..."
"Sedang apakah engkau di sini seorang diri?" tanya musafir
"Aku sedang memuji kekasihku," jawabnya, "lalu apakah keperluanmu malam-malam begini berada di sini?" Hamdun bertanya.
"Sejak tadi aku memperhatikanmu dari kejauhan," jawabnya.
"Tidak adakah pekerjaan yang lebih bermanfaat bagimu selain memperhatikan diriku?" tanya Hamdun lagi.
"Aku hanya berpikir tentang isi dari syair indah yang engkau dendangkan, wahai orang tua," jawabnya.
"Mengapa engkau tidak sholat menyembah tuhanmu?", tanya Hamdun sambil berdiri
"Aku penasaran akan kata-katamu tadi siang yang membuatku berpikir panjang tentang kata-kata yang engkau ucapkan. Maukah engkau memberiku penjelasan di mana Tuhan itu berada?" mohon musafir itu pada Hamdun.
"Selama ini engkau menyembahnya tetapi engkau sama sekali tidak tahu di mana ia berada. sungguh sia-sia segala apa yang engkau kerjakan itu, wahai musafir." kata Hamdun. "Tuhan itu banyak, dan jangan sekali-kali lagi engkau berkata menyembah Tuhan. Karena engkau akan berada dalam kesesatan. Engkau pasti bertanya mengapa aku tidak bertuhan dan mengapa tidak beragama, bukan?" Musafir itu menganggukkan kepalanya.
"Aku tidak menyembah Tuhan tetapi aku menyembah sang kekasih, yaitu Allah Subhaanahu wa Ta'ala. Mengapa aku mengatakan tidak beragama karena Allah tidak lagi memberatkannya padaku. Karena aku telah menjadi kekasih-Nya. Apapun yang Dia pilihkan untukku, itulah yang terbaik buatku. Walau neraka yang diinginkan-Nya untukku, aku bersedia masuk kedalamnya dengan cinta kasih-Nya. Untuk apa aku memilih sorga bila tidak bisa menjadi kekasihNya dan tidak bisa berjumpa serta melihat keindahan wajah-Nya yang Maha Indah itu? Aku ikhlas menerima kegilaanku karena ingin selalu bercinta dengan-Nya. Inilah kehendak yang Dia inginkan buat kebaikanku. inilah kesucian cinta yang Dia inginkan dariku." katanya menjelaskan pada sang musafir.
"Astaghfirullah, Maha Suci Engkau, Ya Allah, dari segala prasangka buruk hambamu." mohonnya pada Allah setelah mendengarkan penjelasan dari Hamdun, "Tapi mengapa sewaktu aku menyuruhmu sholat tadi siang engkau menolak?" lanjutnya.
"Apakah setiap perbuatan selalu harus aku pamerkan kepada semua manusia? Apakah engkau mengetahui kapan aku sholat tadi siang?" Hamdun balik bertanya. "Tidak!" jawab yang ditanya.
"Sesungguhnya amal yang baik adalah bila tangan kanan bersedekah, tidak diketahui oleh tangan kirinya. Janganlah engkau pamerkan segala amal yang engkau lakukan karena itu semua akan menjauhkanmu dari Allah. Engkau akan memakan puji-pujian orang, lalu engkau akan menjadi riya' karenanya. Tahukah engkau, tidak jauh dari sini ada sebuah hutan? Aku pergi ke sana untuk melaksanakan sholat dan meninggalkan tubuhku tetap terbaring dalam nyenyaknya tidur, agar orang melihat apa yang aku perbuat dan tetap seperti itu pandangan mereka." Hamdun menjelaskan.
"Lalu, bagaimanakah caranya engkau sholat di sana bila tubuhmu terbaring dalam nyenyaknya tidur di depan masjid ini?" rasa ingin tahu musafir itu semakin menjadi.
"Aku memakai tubuh kekasihku Yang Maha Dhohir dan Maha Bathin." jawab Hamdun seraya melanjutkan, "Esok siang, setelah sholat dhuhur lihatlah tubuhku yang berbaring nyenyak di depan masjid ini. Jangan sekali-kali engkau ganggu tidurku. Lalu pergilah engkau ke hutan sana."
"Baiklah! Aku akan menuruti permintaanmu." musafir itu menyetujui permintaan Hamdun. Dan setelah memberi salam, iapun bergi meninggalkan Hamdun yang mulai bersyair lagi.
Keesokan harinya, setelah selesai sholat dhuhur, musafir itu memperhatikan Hamdun yang sedang nyenyak dalam tidurnya. Lalu iapun segera bergegas menuju hutan yang dimaksud Hamdun semalam. Ia mencari-cari di mana Hamdun berada. Musafir itu sempat terkejut ketika mendapati Hamdun sedang melaksanakan sholat dhuhur di bawah teduhnya sebuah pohon tinggi. Ia menunggu hingga Hamdun selesai melaksanakan sholat.
Setelah salam dan berdo'a, Hamdun mendekati musafir yang sejak tadi dalam kebingungan.
"Wahai orang tua, aku tidak mengerti apa yang sedang engkau lakukan. Aku dapati tubuhmu terbaring dalam tidur yang nyenyak di depan masjid, dan di sini aku mendapati pula engkau yang bertubuh melaksanakan sholat. Padahal engkau katakan semalam bahwa engkau pergi ke sini dengan memakai tubuh kekasihmu." tanyanya masih belum sadar dari kebingungannya.
"Wahai anak muda, apakah engkau ragu akan kekuasaan Allah?" tanya Hamdun. musafir itu menggelengkan kepala.
"Allah berkuasa atas semua orang pilihan-Nya. Tiada mustahil segala apa yang Dia perbuat. Mata yang engkau miliki adalah mata kasar. Bila engkau mempunyai mata halus, niscaya engkau tiada mendapati aku di sana. Itu hanyalah bayanganku saja. Tubuh asliku yang sebenarnya ada di sini, berada dihadapanmu. Mengapa pula aku katakan aku memakai tubuh kekasihku? Karena bila engkau melihat pada awal kejadian, bahwa sebenarnya tubuh ini hanya mendindingi kenyataan yang sesungguhnya. Dinding akan hilang bila engkau telah menyerahkan segalanya pada Allah. Bila engkau tiada melihat dinding itu, maka engkau telah memakai pakaian sebenarnya, yaitu pakaian ruh. Tetapi aku tidak bisa menjelaskan padamu tentang segala sesuatu mengenai ruh. karena ruh itu adalah urusan Allah. Mereka yang tidak mengerti akan menghalalkan darahku." jelasnya.
"Aku sedikit paham apa-apa yang telah engkau jelaskan, wahai orang tua." kata musafir itu.
"Sekarang, lihatlah apa yang ada dibalik jubahku ini!" kata Hamdun sambil memperlihatkan sesuatu di balik jubahnya. Cahaya terang memancar dari dadanya dan menyilaukan mata musafir itu. Karena terkejut dan takjub akan terangnya cahaya itu, iapun pingsan.
Tak berapa lama, ia sadar dari pingsannya dan tidak mendapati lagi Hamdun di sana. Iapun berlari untuk menemui Hamdun yang sedang terbaring nyenyak di depan masjid. Sesampainya di sana ia membuka selimut yang menutupi tubuh Hamdun. Betapa terkejutnya ia karena mendapati di balik selimut itu hanya ada setumpuk batu. "Masya Allah...Maha Suci Engkau, Ya Allah....", panjatnya dalam keheranan.
"Ya Allah, siapakah orang tua ini sebenarnya? Siapakah orang yang misterius ini? Siapakah penyair gila ini?" tanyanya dalam hati. Lalu iapun melangkah pergi dengan membawa berbagai pertanyaan dalam hatinya, sambil terus memohon petunjuk pada Allah siapa sebenarnya orang gila yang ia temui itu.
Demi Al-Qur'an yang penuh hikmah, (QS 36:2) Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat. (QS 36:9)
Dari blog Lelaki Biasa, sumber Millist Surau@yahoogroups.com